Sabtu, 18 April 2015

Etika Islam Dalam Konsumsi



ETIKA BISNIS ISLAM
“ETIKA ISLAM MENGENAI KONSUMSI”
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Etika Bisnis Islam
Dosen Pengampu: Diana Ambarwati, M.E.Sy

 
                                                   


       Disusun Oleh :
              Hero Tamo                       13103054

Program Studi : Ekonomi Syariah
Jurusan : Ekonomi Syariah
Kelas : E
Semester: IV
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2015



Daftar Isi
Cover
BAB 1 (Pendahuluan)
Latar Belakang........................................................................................ i
BAB II (Pembahasan)
A.    Pengertian Konsumsi................................................................... 1
B.     Teori Etika Islam Di Bidang Konsumsi...................................... 3
C.     Dasar Hukum Prilaku Konsumsi................................................. 5
D.    Tujuan Konsumsi Dalam Islam................................................... 7
E.     Prinsip Dasar Dalam Konsumsi Menurut Islam.......................... 9
F.      Etika Konsumsi Dalam Islam...................................................... 12
BAB III (Penutup)
Kesimpulan
Daftar Pustaka










BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Konsumsi merupakan pemakaian atau penggunaan manfaat dari barang dan jasa. Sehingga konsumsi merupakan tujuan yang penting dari produksi tetapi tujuan yang utama adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Islam adalah agama komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, yang mengatur segala tingkah laku manusia, bahkan tidak ada satu sietem kemasyarakatan, baik modern atau lama, yang menetapkan etika untuk manusia dan megatur segala aspek kehidupan manusia sampai pada persoalan yang detail selain Islam, termasuk dalam hal ini konsumsi.
Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam, karena kenikmatan yang dicipta Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya Yang berfirman kepada nenek moyang manusia, yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an: " ...dan makanlah barang-barang yang penuh nikmat di dalamnya (surga) sesuai dengan kehendakmu ...," dan yang menyuruh semua umat manusia: "Wahai umat manusia, makanlah apa yang ada di bumi, dengan cara yang sah dan baik." Karena itu, orang Mu'min berusaha mencari kenikmatan dengan mentaati perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah-anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat manusia. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak dikutuk dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an: "Katakanlah, siapakah yang melarang (anugerah-anugerah Allah) yang indah, yang Dia cipta untuk hamba-hamba-Nya dan barang-barang yang bersih dan suci (yang Dia sediakan?)".

B.     Rumusan Masalah
1.      Jelaskan pengertian konsumsi?
2.      Apakah tujuan dan prinsip dari konsumsi menurut Islam?
3.      Bagaimana etika konsumsi dalam Islam?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Konsumsi
Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.[1]
Konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyyah.
Menurut Chaney, konsumsi adalah seluruh tipe aktifitas sosial yang orang lakukan sehingga dapat di pakai untuk mencirikan dan mengenal mereka, selain (sebagai tambahan) apa yang mungkin mereka lakukan untuk hidup. Chaney menambahkan, gagasan bahwa konsumsi telah menjadi (atau sedang menjadi) fokus utama kehidupan sosial dan nilai-nilai kultural mendasari gagasan lebih umum dari budaya konsumen.
Menurut Braudrillard, konsumsi adalah sistem yang menjalankan urutan tanda-tanda dan penyatuan kelompok. Jadi konsumsi itu sekaligus sebagai moral (sebuah sistemideologi) dan sistem komunikasi, struktur pertukaran. Dengan konsumsi sebagai moral, maka akan menjadi fungsi sosial yang memiliki organisasi yang terstruktur yang kemudian memaksa mereka mengikuti paksaan sosial yang tak disadari.
Di dalam ilmu ekonomi, konsumsi berarti penggunaan barang atau jasa untuk memuaskan kebutuhan manusiawi (the use of goods and service in the satisfaction of human wants). Apabila digunakantanpa kualitas apapun, maka istilah “konsumsi” itu di dalam ilmu ekonomi, akan secara umum di artikan sebagai penggunaan barang-barang dan jasa-jasa yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan manusia.  Tetapi perlu diingat bahwa beberapa macam barang, seperti mesin-mesin maupun barang mentah yang dipergunakan untuk menghasilkan barang lainnya hal ini dapat disebut sebagai konsumsi produktif (produktive consumption), sedangkan konsumsi yang langsung dapat memuaskan kebutuhan disebut sebagai konsumsi akhir (final comsumption)[2]
Harta dari segi hak-haknya terbagi menjadi tiga, yaitu milik Allah, milik pribadi dan milik umum (Abdullah Muslih, 2004). Ketiga konsep tentang kepemilikan harta inilah dalam islam dinamakan multiple ownerships. Pertama, harta milik Allah, yang pada dasarnya harta adalah mutlak milik Allah, manusia hanya diberi kesempatan sementara untuk memiliki dan menggunakannya. Konsekuensi dari harta milik Allah SWT adalah manusia wajib mengoperasikannya sesuai dengan syariat dan mengeluarkan sebagiannya kepada yang membutuhkan melalui zakat, infak dan shodaqoh. Kedua, harta milik pribadi, yang tidak boleh disentuh atau diganggu kecuali dengan seijin pemiliknya. Terjadinya kepemilikan harta ini pada asalnya mubah ketika belum ada pemilik sebelumnya. Perpindahan kepemilikan dapat terjadi melalui akad jual beli, hibah maupun warisan. Ketiga, harta milik bersama/umum. Konsekuensi harta milik bersama adalah dengan lebih mendahulukan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan pribadi ketika terjadi perselisihan/bentrokan kepentingan, dengan tetap memberikan kompensasi kepada pemilik harta tersebut sehingga tidak merugikan hak-hak pribadi mereka.


B.     Teori Etika Islam di Bidang Konsumsi
Etika Islam berarti akhlak mahmudah atau akhlak terpuji. Istilah etika yang dalam bahasa Indonesianya adalah “kesusuliaan”, kata dasarnya adalah “susila” kemudian diberi awalan ke- dan akhiran –an. “Susila” berasal dari bahasa Sansekerts, “su” berarti baik dan “sila” berarti “norma” kehidupan. Jadi etika berarti menyangkut kelakuan yang menuruti norma-norma kehidupan yang baik. Adapun etika Islam, berarti menuruti hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah SWT agar manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dibidang ekonomi, etika Islam berarti ketika seseorang mengkonsumsi barang-barang atau harus dengan cara yang halal dan baik. Artinya, perbuatan yang baik dalam mencari barang-barang atau rezeki baik untuk dikonsumsi maupun diproduksi adalah bentuk ketaatan terhadap Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “wahai umat manusia, makanlah apa yang ada di bumi dengan cara yang sah dan baik.”[3]
Karena itu, orang mukmin berusaha mencari kenikmatan dengan menaati perintah-perintah-Nya dan memuaskan diri dengan barang-barang dan anugerah yang diciptakan Allah untuk umat Islam selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak. Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an : “Katakanlah, siapakah yang melarang (anugerah-anugerah Allah) yang indah, yang Dia ciptakan untuk hamba-hamba-Nya dan barang-barang yang bersih dan suci (yang Dia sediakan)?”[4]
Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan dissebut dengan istilah ishraf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni untuk menuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan.[5] Setiap kategori ini menyangkut beberapa jenis penggunaan harta yang hampir-hampir sudah menggejala pada masyarakat yang berorientasi konsumer. pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam suatu hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dll.
Mengkonsumsi hak milk orang lain dengan cara batil atau memakan harta milik orang lain tanpa adanya justifikasi[6], adalah perbuatan haram. Al-Qur’an melarang praktek tidak adil ini dan menyebutnya sebagai akl bi al-bathil (makan dengan cara yang batil). Riba itu dilarang, menurut B.A Dar, karena didalamnya ada praktek makan kekayaan orang lain dengan cara yang batil.[7]
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsibanyak faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga. faktor-faktor tersebut dapat dikasifikasikan menjadi : faktor-faktor ekonomi dan faktor-faktor non-ekonomi.
Faktor ekonomi
·         Tingkat pendapatan dan Tingkat kebutuhan
·         Jumlah barang konsumsi yang tahan lama dalam masyarakat
·         Tingkat bunga, harga barang
·         Perkiraan tentang masa depan
·         Kebijakan pemerintah

Faktor non-ekonomi
·         Kebiasaan masyarakat dan Tingkat pendidikan
·         Mode dan Jumlah penduduk

Ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola yang terletak diantara kekikiran dan pemborosan.” Konsumsi yang melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap ishraf dan tidak disenangi Islam. Salah satu ciri dalam Islam adalah bahwa ia mengubah nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Dalam hukum (fiqih) Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan-pembatasan dan bial dianggap perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya sendiri. Dalam pandangan syari’ah, dia seharusnya diperlakukan sebagai orang yangtidak mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanya selaku wakilnya.[8]
Oleh karena itu, etika Islam akan mampu membentuk pribadi-pribadi muslim-mu’min, yang tidak hanya menghasilkan kepuasan konsumtif melainkan mampu menciptakan kepuasan kreatif untuk menghasilkan kepuasan yang produktif. Pribadi-pribadi muslim demikian, tentu tidak akan menjadi mushrif atau mubzir, tetapi mampu menciptakan produktivitas yang optimal yang membawa maslahat dan rahmat lil ‘alamin.
Al Gazali seorang ulama yang hidup sekitar 450-1058 H mengungkapkan teori konsumsi Islami. Pemikiran tentang fungsi konsumsi Al Gazali diawali dari sebuah pemikiran bahwa kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar yaitu agama (al-dien), jiwa (nafs), harta (maal) dan akal (aql). Dalam aspek ekonomi fungsi kesejahteraan sosial disusun secara hirarkis meliputi kebutuhan (daruriat), kesenangan dan kenyamanan (hajaat) dan kemewahan (tahsinaat). Kunci pemeliharaan lima tujuan dasar terletak pada penyediaan tingkat pertama (kebutuhan atau daruriat) yaitu kebutuhan makanan, pakaian dan perumahan. Kebutuhan dasar ini cenderung flekisbel mengikuti waktu, tempat dan sosiopsikologis. Kelompok kebutuhan kedua (kesenangan atau hajaat) terdiri dari semua kegiatan dan hal-hal yang tidak vital bagi lima fondasi tersebut, tetapi tetap diperlukan untk menghilangkan rintangan dan kesukaran dalam hidup. Kelompok ketiga mancakup kegiatan-kegiatan dan hal-hal yang lebih jauh dari sekedar kenyamanan saja; meliputi hal-hal yang melengkapi atau menghiasi hidup.[9]
Teori konsumsi yang dijelaskan oleh Al Gazali memberi acuan yang lebih konkrit tentang perilaku konsumsi.Pertama bahwa manusia harus memenuhi kebutuhan dasar demi pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Tetapi bukan berarti Al Gazali mengecam terhadap pemenuhan akan kenyamanan dan kemewahan karena:  apabila manusia dan masyarakat berhenti pada pemenuhan kebutuhan yang subsisten (sadd al ramaaq) dan menjadi sangat lemah dan kemudian angka kematian meningkat, maka semua pekerjaan dan kerajinan akan berhenti dan masyarakat akan binasa. Selanjutnya agama akan hancur, karena kehidupan dunia adalah persiapan bagi kehidupan akhirat. 


C.    Dasar Hukum Prilaku Konsumsi / Konsumen[10]

1.      Sumber yang Berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul
Sumber yang ada dalam al-Qur’an
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya : Makan dan minumlah, namun janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Sumber yang berasal dari Sunnah Rasul, yang artinya : Abu Said Al-Chodry r.a berkata :
Ketika kami dalam bepergian berasama Nabi SAW, mendadak datang seseorang berkendaraan, sambil menoleh ke kanan-ke kiri seolah-olah mengharapkan bantuan makanan, maka bersabda Nabi SAW : “Siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan pada yang tidak memmpunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai kelebihan bekal harus dibantukan pada orang yang tidak berbekal.” kemudian Rasulullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan hajatnya. (H.R. Muslim).
2.       Ijtihad Para Ahli Fiqh
Ijitihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syari’at. Mannan menyatakan bahwa sumber hukum ekonomi islam (termasuk di dalamnya terdapat dasar hukum tentang prilaku konsumen yakni konsumsi) yaitu; al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, serta qiyas dan ijtihad.
Menurut Mannan, yang ditulis oleh Muhammad dalam bukunya ”Ekonomi Mikro Islam” (2005: 165); konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan/penawaran. Kebutuhan konsumen, yang kini dan yang telah diperhitungkan sebelumya, menrupakan insentif pokok bagi kegiatan-kegiatan ekonominya sendiri. Mereka mungkin tidak hanya menyerap pendapatannya, tetapi juga memberi insentif untuk meningkatkannya. Hal ini berarti bahwa pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting. dan hanya para ahli ekonomi yang mempertunjukkan kemampuannya untuk memahami  dan menjelaskan prinsip produksi maupun konsumsi, mereka dapat dianggap kompeten untuk mengembangkan hukum-hukum nilai dan distribusi atau hampir setiap cabang lain dari subyek tersebut.
Menurut Muhammad perbedaan antara ilmu ekonomi modren dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi modren. Lebih lanjut Mannan mengatakan semakin tinggi kita menaiki jenjang  peradaban, semakin kita terkalahkan oleh kebutuhan fisiologik karena faktor-faktor psikologis. Cita rasa seni, keangkuhan, dorongan-dorongan untuk pamer semua faktor ini memainkan peran yang semakin dominan dalam menentukan bentuk lahiriah konkret dari kebutuhan-kebutuhan fisiologik kita. Dalam suatu masyarakat primitif, konsomsi sangat sederhana, karena kebutuhannya sangat sederhana. Tetapi peradaban modren telah menghancurkan kesederhanaan manis akan kebutuhan-kabutuhan ini.


D.    Tujuan Konsumsi Islami
Tujuan utama konsumsi seoarang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsusmsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsusmsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Konsusmsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan ekonomi. Bahkan ukuran kebahagiaan seseorang diukur dengan tingkat kemampummya dalam mengkonsusmsi. Konsep konsumen adalah raja' menjadi arah bahwa aktifitas ekonomi khususnya produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumen sesuai dengan kadar relatifitas dari keianginan konsumen. Tujuan konsumsi dalam ajaran Islam antara lain:[11]
1.      Untuk mengharap Ridha Allah SWT. Tercapainya kebaikan dan tuntutan jiwa yang mulia harus direalisasikan untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT. Seorang muslim ketika dihadapkan dengan sumber syariat akan mengarahkan jiwanya pada urgensi pencapaian ketaatan dan keridhaan Allah SWT. Kehidupan dunia merupakan jalan menuju keabadian akhirat yang menjadi tujuan orang shaleh dalam setiap aktivitasnya. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. Al-Qashash:7)
2.      Untuk mewujudkan kerjasama antar anggota masyarakat dan tersedianya jaminan sosial. Takdir manusia didunia ini berbeda-beda, ada yang ditakdirkan menjadi kaya dan sebaliknya, ada yang pada posisi pertengahan. Tidak pantas bagi seorang muslim yang melihat kerabat, tetangga, atau saudara muslim yang kelaparang, sengsara, sedang ia tidak melakukan sesuatu apapun untuk membantunya
3.      Untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab individu terhadap kemakmuran diri, keluarga dan masyarakat sebagai bagian aktivitas dan dinamisasi ekonomi. Islam telah memberi kewajiban adanya oemberian nafkah terhadap beberapa kelompok masyarakat yang termasuk dalam kategori saudara dan yang digolongkan sebagai saudara.
Dalam konsumsi, seorang muslim harus memperhatikan kebaikan (kehalalan) sesuatu yang akan di konsumsinya. Para fuqaha' menjadikan memakan hal-hal yang baik ke dalam empat titigkatan (Ibnu Muflih, 3:197-204). Pertama, wajib, yaitu mengkonsumsi sesuatu yang dapat menghindarkan diri dari kebinasaan dan tidak mengkonsusmsi kadar ini padahal mampu yang berdampak pada dosa. Kedua, sunnah, yaitu mengkonsusmsi yang lebih dari kadar yang menghindarkan diri dari kebinasaan dan menjadikan seoarang muslim mampu shalat dengan berdiri dan mudah berpuasa. Ketiga, mubah, yaitu sesuatu yang lebih dari yang sunnah sampai batas kenyang. Keempat, konsusmsi yang melebihi batas kenyang, yang dalam hal ini terdapat dua pendapat, ada yang mengatakan makruh yang satunya mengatakan haram.
Konsumsi bagi seorang muslim hanya sekedar perantara untuk menambah kekuatan dalam mentaati Allah, yang ini memiliki indikasi positif dalam kehidupannya. Seorang muslim tidak akan merugikan dirinya di dunia dan akhirat, karena memberikan kesempatan pada dirinya untuk mendapatkan dan memenuhi konsusmsinya pada tingkat melampaui batas, membuatnya sibuk mengejar dan menikmati kesenangan dunia sehingga melalaikan tugas utamanya dalam kehidupan ini. "Kamu telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan duniawi (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya" (Al-Ahqaf: 20). Maksud rizki yang baik di sini adalah melupakan syukur dan mengabaikan orang lain. Oleh sebab itu, konsumsi islam harus menjadikannya ingat kepada Yang Maha Memberi rizki, tidak boros, tidak kikir, tidak memasukkan ke dalam mulutnya dari sesuatu yang haram dan tidak melakukan pekerjaan haram untuk memenuhi konsumsinya. Konsumsi islam akan menjauhkan seseorang dan sifat egois, sehingga seoarang muslim akan menafkahkan hartanya untuk kerabat terdekat (sebaik-baik infak), fakir miskin dan orang-orang yang mumbutuhkan dalam rangka mendekatkan diri kepada penciptanya.


E.     Prinsip-prinsip Dasar dalam Konsumsi Menurut Islam
Menurut Abdul Mannan bahwa perintah Islam mengenai konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip, yaitu:[12]
a.         Prinsip Keadilan
b.        Prinsip Kebersihan
c.         Prinsip Kesederhanaan
d.        Prinsip Kemurahan Hati
e.         Prinsip Moralitas.
Konsumsi islam senantiasa memperhatikan halal-haram, komitmen dan konsekuen dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum syariat yang mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumsi seoptimal mungkin dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak mudharat baik bagi dirinya maupun orang lain. Adapun kaidah/prinsip dasar konsumsi islami adalah (AI-Haritsi, 2006):
1.      Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari:
Ø  Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/beribadah sebagai perwujudan keya.kinan man.usia sebagai makhluk yang mendapatican beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya.
Ø  Prinsip ilmu, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya.
Ø  Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut. Seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau syubhat.

2.      Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat islam, di antaranya
Ø  Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan harta dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir, hemat.
Ø  Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.
Ø  Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.

3.      Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
Ø  Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok.
Ø  Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah atau meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih balk, misalnya konsumsi madu, susu dan sebagainya.
Ø  Tersier, yaitu untuk memenuhi konsumsi manusia yang jauh lebih membutuhkan.

4.      Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
Ø  Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong.
Ø  Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di masyarakatnya.
Ø  Tidak membahayakan orang lain yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain seperti merokok.

5.      Kaidah lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya alam dan keberlanjutannya atau tidak merusak lingkungan.

6.      Tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak mencerminkan etika konsusmsi islami seperti suka menjamu dengan tujuan bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan menghambur-hamburkan harta.


F.     Etika Konsumsi dalam Islam
Berlakunya bebereapa instrumen seperti yang di asumsikan oleh Monzer Kahf diantaranya: Islam dilaksanakan oleh masyarakat, zakat, tidak ada riba dalam perekonomian itu dalam ekonomi Islam tentu berdampak pula kepadaperubahan prilaku konsumsi bila tanp instrumen tersebut. [13] Adapun etika konsumsi islam harus memperhatikan beberapa hal, di antaranya adalah:
1.      Jenis barang yang dikonsumsi adalah barang yang baik dan halal (halalan thoyyiban) yaitu:
a.       Zat, artinya secara materi barang tersebut telah disebutkan dalam hukum syariah. Halal, dimana asal hukum makanan adalah boleh kecuali yang dilarang (Al-Baqarah: 168-169, An-Nahl: 66-69). Haram, dimana hanya beberapa jenis makanan yang dilarang seperti babi, darah (Al-Baqarah: 173, Al-Maidah: 3,90).
b.      Proses, artinya dalam prosesnya telah memenuhi kaidah syariah, misalnya Sebelum makan baca basmalah, selesai makan baca hamdalah, menggunakan tangan kanan dan bersih. Cara mendapatkannya tidak dilarang, misal: riba (Al-Imran: 130), merampas (An-Nissa’: 6), judi (Al-Maidah: 91), menipu, mengurangi timbangan, tidak menyebut Allah ketika disembelih, proses tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk kecuali yang sempat disembelih sebelum matinya (Al-Maidah: 3).
2.      Kemanfaatan atau kegunaan barang yang dikonsumsi
3.      Kuantitas barang yang dikonsumsi tidak berlebihan
Etika komsumsi dalam Islam mengutamakan mashlahah/manfaat dan  menghindari  israf (pemborosan) ataupun tabzir  (menghambur-hamburkan) uang/harta tanpa guna. Konsumsi merupakan pemakaian atau penggunaan manfaat dari barang dan jasa. Sehingga konsumsi merupakan tujuan yang penting dari produksi,  tetapi yang tujuan yang utama adalah konsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang lahir dan batin.[14] Konsumsi merupakan seruan dari Allah kepada manusia untuk hidupnya di dunia ini agar dapat menjalankan perannnya sebagai khalifah di bumi. Sehingga segala hal yang kita lakukan di dunia ini tidak terlepas dari norma-norma ilahiyah sehingga dalam hal konsumsi pun kita harus mengikuti kaidah-kaidah ilahiyah.
Etika konsumsi menurut Naqvi adalah sebagai berikut:[15]
a.       Tauhid (Unity/ Kesatuan)
Karakteristik utama dan pokok dalam Islam adalah “tauhid” yang menurut Qardhawi dibagi menjadi dua kriteria, yaitu: Kriteria pertama menunjukkan maksud bahwa tujuan akhir dan sasaran Islam adalah menjaga hubungan baik dan mencapai ridha-Nya. Sehingga pengabdian kepada Allah merupakan tujuan akhir, sasaran, puncak cita-cita, usaha dan kerja keras manusia dalam kehidupan yang fana ini. Kriteria kedua adalah rabbani yang masdar (sumber hukum) dan manhaj (sistem). Kriteria ini merupakan suatu sistem yang ditetapkan untuk mencapai sasaran dan tujuan puncak (kriteria pertama) yang bersumber al-Qur’an dan Hadits Rasul.
b.      Adil (Equilibrium/ Keadilan)
Khursid Ahmad mengatakan, kata ‘adl dapat diartikan seimbang (balance) dan setimbang (equlibrium). Atas sebab dasar itu ia menyebutkan konsep al-‘adl dalam prespektif Islam adalah keadilan Ilahi.
Salah satu manifestasi keadilan menurut al-Qur’an adalah kesejahteraan. Keadilan akan mengantarkan manusia kepada ketaqwaan, dan ketaqwaan akan menghasilkan kesejahteraan bagi manusia itu sendiri.
c.       Free Will (Kehendak Bebas)
Manusia merupakan makhluk yang berkehendak bebas namun kebebasan ini tidaklah berarti bahwa manusia terlepas dari qadha dan qadar yang merupakan hukum sebab-akibat yang didasarkan pada pengetahuan dan kehendak Tuhan.
d.      Amanah (Responsibility/ Pertanggungjawaban)
Etika dari kehendak bebas adalah pertanggungjawaban. Dengan kata lain, setelah manusia melakukan perbuatan maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan demikian prinsip tanggung jawab merupakan suatu hubungan logis dengan adanya prinsip kehendak bebas.
e.       Halal
Kehalalan adalah salah satu kendala untuk memperoleh maksimalisasi kegunaan konsumsi salam kerangka Ekonomi Islam. Kehalalan suatu barang konsumsi merupakan antisipasi dari adanya keburukan yang ditimbulkan oleh barang tersebut.
f.       Sederhana
Sederhana dalam konsumsi mempunyai arti jalan tengah dalam berkomunikasi. Diantara dua cara hidup yang ekstrim antara paham materilialistis dan zuhud. Ajaran al-Qur’an menegaskan bahwa dalam berkonsumsi manusia dianjurkan untuk tidak boros.










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Konsumsi merupakan bagian aktifitas ekonomi yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Konsumsi adalah fitrah manusia untuk mempertahankan hidupnya. Jika manusia masih berada dalam fitrah yang suci, maka manusia sadar bahwa konsumsi memiliki keterbatasan baik dari segi kemampuan harta maupun apa yang akan dikonsumsi sesuai dengan kebutuhannya. Teori konsumsi islam membatasi konsumsi berdasarkan konsep harta dan berbagai jenis konsumsi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah islam demi keberlangsungan dan kesejahteraan manusia itu sendiri. Dalam islam aktifitas konsumsi telah diatur dalam bingkai syariah, sehingga dapat menuntun seorang muslim agar tidak terjerumus dalam keharaman dan apa yang dikonsumsinya menjadi berkah.
Adapun etika konsumsi islam harus memperhatikan beberapa hal, di antaranya adalah:
1.                     Jenis barang yang dikonsumsi adalah barang yang baik dan halal (halalan thoyyiban)
2.                     Kemanfaatan atau kegunaan barang yang dikonsumsi, artinya lebih memberikan manfaat dan jauh dari merugikan baik dirinya maupun orang lain.
3.                     Kuantitas barang yang dikonsumsi tidak berlebihan dan tidak terlalu sedikit atau kikir atau bakhil, tapi pertengahan (Al-Furqon: 67), serta ketika memiliki kekayaan berlebih harus mau berbagi melalui zakat, infak, sedekah maupun wakaf dan ketika kekurangan harus sabar dan merasa cukup dengan apa yang dimilikinya.





Daftar Pustaka
Abdul Aziz. 2008. Ekonomi Islam Analisis Mikro dan Makro. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Adiwarman A. Karim. 2014. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta:Rajawali Pers.
Mustaq Ahmad. 2003. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Muh. Said. 2008. Pengantar Ekonomi Islam Pekanbaru: Suska Press.
Mawardi. 2007. Ekonomi Islam. Pekanbaru: Alaf Riau.
Mannan. 2005 yang ditulis oleh Muhammad”Ekonomi Mikro Islam”
Suherman Rosyidi. 2000. Pengantar Teori Ekonomi (Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro & Makro). Jakarta : PT Raja Grafindo Perasada.
https://devilmycry4.wordpress.com/2011/06/28/etika-islam-dalam-bidang-konsumsi/
http://konsultanekonomi.blogspot.com/2012/05/etika-konsumsi-dalam-perspektif-syariah.html



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Konsumsi
[2] Suherman Rosyidi. Pengantar Teori Ekonomi (Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro & Makro). Jakarta : PT Raja Grafindo Perasada. 2000. Hlm 147-148
[3] QS. Al-Baqarah, 2: 268
[4] QS. Al-Maidah, 7: 32
[5] Abdul Aziz. Ekonomi Islam Analisis Mikro dan Makro. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2008, hlm 37
[6] Justifikasi adalah alasan atau pertimbangan berdasarkan hati nurani
[7] Mustaq Ahmad. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.2003. hlm, 142
[8] Muhammad Al-Mubarok. Nizamul Islam, Al-Iqtishad. Bairut; Darul Fikr. 1972, hlm, 87
[9] Mannan, yang ditulis oleh Muhammad”Ekonomi Mikro Islam” . 2005. Hlm 165
[10] https://devilmycry4.wordpress.com/2011/06/28/etika-islam-dalam-bidang-konsumsi/
[11] https://rianapuji.wordpress.com/2014/03/30/makalah-etika-islam-dalam-bidang-produksi-konsumsi-dan-distribusi/
[12] Muh. Said. Pengantar Ekonomi Islam (Pekanbaru: Suska Press, 2008), hlm. 81
[13] Adiwarman A. Karim. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta:Rajawali Pers. 2014. Hlm, 116-117
[14]http://konsultanekonomi.blogspot.com/2012/05/etika-konsumsi-dalam-perspektif-syariah.html
[15] Mawardi.  Ekonomi Islam, (Pekanbaru: Alaf Riau: 2007), hlm 82

Tidak ada komentar:

Posting Komentar