ETIKA
BISNIS ISLAM
“ETIKA
ISLAM MENGENAI KONSUMSI”
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Etika Bisnis Islam
Dosen
Pengampu: Diana Ambarwati, M.E.Sy
Disusun Oleh :
Hero
Tamo 13103054
Program Studi : Ekonomi Syariah
Jurusan
: Ekonomi Syariah
Kelas
: E
Semester:
IV
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2015
Daftar Isi
Cover
BAB 1
(Pendahuluan)
Latar
Belakang........................................................................................
i
BAB II
(Pembahasan)
A.
Pengertian Konsumsi...................................................................
1
B.
Teori Etika Islam Di Bidang
Konsumsi......................................
3
C.
Dasar Hukum Prilaku
Konsumsi.................................................
5
D.
Tujuan Konsumsi Dalam Islam...................................................
7
E.
Prinsip Dasar Dalam
Konsumsi Menurut Islam..........................
9
F.
Etika Konsumsi Dalam Islam......................................................
12
BAB III
(Penutup)
Kesimpulan
Daftar
Pustaka
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Konsumsi
merupakan pemakaian atau penggunaan manfaat dari barang dan jasa. Sehingga
konsumsi merupakan tujuan yang penting dari produksi tetapi tujuan yang utama
adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Islam adalah agama
komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, yang mengatur segala tingkah
laku manusia, bahkan tidak ada satu sietem kemasyarakatan, baik modern atau
lama, yang menetapkan etika untuk manusia dan megatur segala aspek kehidupan
manusia sampai pada persoalan yang detail selain Islam, termasuk dalam hal ini
konsumsi.
Selain itu, perbuatan untuk
memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sendiri dianggap
sebagai kebaikan dalam Islam, karena kenikmatan yang dicipta Allah untuk manusia
adalah ketaatan kepada-Nya Yang berfirman kepada nenek moyang manusia, yaitu
Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an: " ...dan makanlah
barang-barang yang penuh nikmat di dalamnya (surga) sesuai dengan kehendakmu
...," dan yang menyuruh semua umat manusia: "Wahai umat manusia,
makanlah apa yang ada di bumi, dengan cara yang sah dan baik." Karena itu, orang Mu'min berusaha mencari
kenikmatan dengan mentaati perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri
dengan barang-barang dan anugerah-anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat
manusia. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak dikutuk dalam Islam selama
keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak. Allah SWT
berfirman dalam Al-Qur'an: "Katakanlah, siapakah yang melarang
(anugerah-anugerah Allah) yang indah, yang Dia cipta untuk hamba-hamba-Nya dan
barang-barang yang bersih dan suci (yang Dia sediakan?)".
B.
Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian konsumsi?
2. Apakah tujuan dan prinsip dari konsumsi menurut Islam?
3. Bagaimana etika konsumsi dalam Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Konsumsi
Konsumsi, dari bahasa
Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan
mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi
kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.[1]
Konsumsi secara umum didefinisikan
dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam
ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki
perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan mendasar dengan konsumsi
ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara
pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyyah.
Menurut Chaney, konsumsi adalah seluruh tipe aktifitas sosial yang orang
lakukan sehingga dapat di pakai untuk mencirikan dan mengenal mereka, selain
(sebagai tambahan) apa yang mungkin mereka lakukan untuk hidup. Chaney
menambahkan, gagasan bahwa konsumsi telah menjadi (atau sedang menjadi) fokus
utama kehidupan sosial dan nilai-nilai kultural mendasari gagasan lebih umum
dari budaya konsumen.
Menurut Braudrillard, konsumsi adalah sistem yang menjalankan urutan
tanda-tanda dan penyatuan kelompok. Jadi konsumsi itu sekaligus sebagai moral
(sebuah sistemideologi) dan sistem komunikasi, struktur pertukaran. Dengan
konsumsi sebagai moral, maka akan menjadi fungsi sosial yang memiliki
organisasi yang terstruktur yang kemudian memaksa mereka mengikuti paksaan sosial
yang tak disadari.
Di dalam ilmu ekonomi, konsumsi berarti penggunaan barang atau jasa untuk
memuaskan kebutuhan manusiawi (the use of goods and service in the satisfaction
of human wants). Apabila digunakantanpa kualitas apapun, maka istilah “konsumsi”
itu di dalam ilmu ekonomi, akan secara umum di artikan sebagai penggunaan
barang-barang dan jasa-jasa yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan
manusia. Tetapi perlu diingat bahwa
beberapa macam barang, seperti mesin-mesin maupun barang mentah yang
dipergunakan untuk menghasilkan barang lainnya hal ini dapat disebut sebagai
konsumsi produktif (produktive consumption), sedangkan konsumsi yang langsung
dapat memuaskan kebutuhan disebut sebagai konsumsi akhir (final comsumption)[2]
Harta dari segi hak-haknya terbagi
menjadi tiga, yaitu milik Allah, milik pribadi dan milik umum (Abdullah Muslih,
2004). Ketiga konsep tentang kepemilikan harta inilah dalam islam dinamakan multiple
ownerships. Pertama, harta milik Allah, yang pada dasarnya harta adalah
mutlak milik Allah, manusia hanya diberi kesempatan sementara untuk memiliki
dan menggunakannya. Konsekuensi dari harta milik Allah SWT adalah manusia wajib
mengoperasikannya sesuai dengan syariat dan mengeluarkan sebagiannya kepada
yang membutuhkan melalui zakat, infak dan shodaqoh. Kedua, harta milik
pribadi, yang tidak boleh disentuh atau diganggu kecuali dengan seijin
pemiliknya. Terjadinya kepemilikan harta ini pada asalnya mubah ketika belum
ada pemilik sebelumnya. Perpindahan kepemilikan dapat terjadi melalui akad jual
beli, hibah maupun warisan. Ketiga, harta milik bersama/umum.
Konsekuensi harta milik bersama adalah dengan lebih mendahulukan kepentingan
bersama dibandingkan kepentingan pribadi ketika terjadi perselisihan/bentrokan
kepentingan, dengan tetap memberikan kompensasi kepada pemilik harta tersebut
sehingga tidak merugikan hak-hak pribadi mereka.
B.
Teori Etika Islam di
Bidang Konsumsi
Etika Islam berarti akhlak mahmudah atau akhlak terpuji. Istilah etika
yang dalam bahasa Indonesianya adalah “kesusuliaan”, kata dasarnya adalah
“susila” kemudian diberi awalan ke- dan akhiran –an. “Susila” berasal dari
bahasa Sansekerts, “su” berarti baik dan “sila” berarti “norma” kehidupan. Jadi
etika berarti menyangkut kelakuan yang menuruti norma-norma kehidupan yang
baik. Adapun etika Islam, berarti menuruti hukum-hukum yang telah ditetapkan
Allah SWT agar manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dibidang ekonomi, etika Islam berarti ketika seseorang mengkonsumsi
barang-barang atau harus dengan cara yang halal dan baik. Artinya, perbuatan
yang baik dalam mencari barang-barang atau rezeki baik untuk dikonsumsi maupun
diproduksi adalah bentuk ketaatan terhadap Allah SWT, sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur’an: “wahai umat manusia, makanlah apa yang ada di bumi dengan cara
yang sah dan baik.”[3]
Karena itu, orang mukmin berusaha mencari kenikmatan dengan menaati
perintah-perintah-Nya dan memuaskan diri dengan barang-barang dan anugerah yang
diciptakan Allah untuk umat Islam selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang
tidak baik atau merusak. Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an : “Katakanlah,
siapakah yang melarang (anugerah-anugerah Allah) yang indah, yang Dia ciptakan
untuk hamba-hamba-Nya dan barang-barang yang bersih dan suci (yang Dia
sediakan)?”[4]
Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak
mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan dissebut dengan istilah ishraf
(pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir
berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni untuk menuju
tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum
atau dengan cara yang tanpa aturan.[5]
Setiap kategori ini menyangkut beberapa jenis penggunaan harta yang
hampir-hampir sudah menggejala pada masyarakat yang berorientasi konsumer.
pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang
melanggar hukum dalam suatu hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dll.
Mengkonsumsi hak milk orang lain dengan cara batil atau memakan harta
milik orang lain tanpa adanya justifikasi[6],
adalah perbuatan haram. Al-Qur’an melarang praktek tidak adil ini dan
menyebutnya sebagai akl bi al-bathil (makan dengan cara yang batil).
Riba itu dilarang, menurut B.A Dar, karena didalamnya ada praktek makan
kekayaan orang lain dengan cara yang batil.[7]
Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat konsumsibanyak faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga.
faktor-faktor tersebut dapat dikasifikasikan menjadi : faktor-faktor ekonomi
dan faktor-faktor non-ekonomi.
Faktor ekonomi
·
Tingkat pendapatan dan Tingkat kebutuhan
·
Jumlah barang konsumsi yang tahan lama dalam masyarakat
·
Tingkat bunga, harga barang
·
Perkiraan tentang masa depan
·
Kebijakan pemerintah
Faktor non-ekonomi
·
Kebiasaan masyarakat dan Tingkat pendidikan
·
Mode dan Jumlah penduduk
Ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar
dan berimbang, yakni pola yang terletak diantara kekikiran dan pemborosan.”
Konsumsi yang melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap ishraf dan tidak
disenangi Islam. Salah satu ciri dalam Islam adalah bahwa ia mengubah
nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Dalam hukum (fiqih) Islam,
orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan-pembatasan dan bial dianggap
perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya sendiri.
Dalam pandangan syari’ah, dia seharusnya diperlakukan sebagai orang yangtidak
mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanya selaku
wakilnya.[8]
Oleh karena itu, etika Islam akan mampu membentuk pribadi-pribadi
muslim-mu’min, yang tidak hanya menghasilkan kepuasan konsumtif melainkan mampu
menciptakan kepuasan kreatif untuk menghasilkan kepuasan yang produktif.
Pribadi-pribadi muslim demikian, tentu tidak akan menjadi mushrif atau mubzir,
tetapi mampu menciptakan produktivitas yang optimal yang membawa maslahat dan
rahmat lil ‘alamin.
Al Gazali seorang ulama yang hidup sekitar 450-1058 H
mengungkapkan teori konsumsi Islami. Pemikiran tentang fungsi konsumsi Al
Gazali diawali dari sebuah pemikiran bahwa kesejahteraan (maslahah) dari
suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar
yaitu agama (al-dien), jiwa (nafs), harta (maal) dan akal (aql).
Dalam aspek ekonomi fungsi kesejahteraan sosial disusun secara hirarkis
meliputi kebutuhan (daruriat), kesenangan dan kenyamanan (hajaat)
dan kemewahan (tahsinaat). Kunci pemeliharaan lima tujuan dasar terletak
pada penyediaan tingkat pertama (kebutuhan atau daruriat) yaitu
kebutuhan makanan, pakaian dan perumahan. Kebutuhan dasar ini cenderung
flekisbel mengikuti waktu, tempat dan sosiopsikologis. Kelompok kebutuhan kedua
(kesenangan atau hajaat) terdiri dari semua kegiatan dan hal-hal yang
tidak vital bagi lima fondasi tersebut, tetapi tetap diperlukan untk
menghilangkan rintangan dan kesukaran dalam hidup. Kelompok ketiga mancakup
kegiatan-kegiatan dan hal-hal yang lebih jauh dari sekedar kenyamanan saja;
meliputi hal-hal yang melengkapi atau menghiasi hidup.[9]
Teori konsumsi yang dijelaskan oleh Al Gazali memberi
acuan yang lebih konkrit tentang perilaku konsumsi.Pertama bahwa manusia harus
memenuhi kebutuhan dasar demi pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, harta dan
akal. Tetapi bukan berarti Al Gazali mengecam terhadap pemenuhan akan
kenyamanan dan kemewahan karena: apabila manusia dan masyarakat berhenti
pada pemenuhan kebutuhan yang subsisten (sadd al ramaaq) dan menjadi
sangat lemah dan kemudian angka kematian meningkat, maka semua pekerjaan dan
kerajinan akan berhenti dan masyarakat akan binasa. Selanjutnya agama akan
hancur, karena kehidupan dunia adalah persiapan bagi kehidupan akhirat.
C. Dasar Hukum
Prilaku Konsumsi / Konsumen[10]
1. Sumber yang
Berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul
Sumber yang ada dalam al-Qur’an
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya : Makan
dan minumlah, namun janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah itu tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Sumber yang berasal dari Sunnah Rasul, yang artinya : Abu Said Al-Chodry
r.a berkata :
Ketika kami dalam bepergian berasama Nabi SAW, mendadak datang seseorang
berkendaraan, sambil menoleh ke kanan-ke kiri seolah-olah mengharapkan bantuan
makanan, maka bersabda Nabi SAW : “Siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan
harus dibantukan pada yang tidak memmpunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai
kelebihan bekal harus dibantukan pada orang yang tidak berbekal.” kemudian
Rasulullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan hingga kita merasa seseorang
tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan hajatnya. (H.R. Muslim).
2. Ijtihad Para Ahli Fiqh
Ijitihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya
kemungkinan suatu persoalan syari’at. Mannan menyatakan bahwa sumber hukum
ekonomi islam (termasuk di dalamnya terdapat dasar hukum tentang prilaku
konsumen yakni konsumsi) yaitu; al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, serta qiyas dan
ijtihad.
Menurut Mannan, yang ditulis oleh Muhammad dalam bukunya ”Ekonomi Mikro
Islam” (2005: 165); konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan/penawaran.
Kebutuhan konsumen, yang kini dan yang telah diperhitungkan sebelumya,
menrupakan insentif pokok bagi kegiatan-kegiatan ekonominya sendiri. Mereka
mungkin tidak hanya menyerap pendapatannya, tetapi juga memberi insentif untuk
meningkatkannya. Hal ini berarti bahwa pembicaraan mengenai konsumsi adalah
penting. dan hanya para ahli ekonomi yang mempertunjukkan kemampuannya untuk
memahami dan menjelaskan prinsip produksi maupun konsumsi, mereka dapat
dianggap kompeten untuk mengembangkan hukum-hukum nilai dan distribusi atau
hampir setiap cabang lain dari subyek tersebut.
Menurut Muhammad perbedaan antara ilmu ekonomi modren dan ekonomi Islam
dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan
seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola
konsumsi modren. Lebih lanjut Mannan mengatakan semakin tinggi kita menaiki
jenjang peradaban, semakin kita terkalahkan oleh kebutuhan fisiologik
karena faktor-faktor psikologis. Cita rasa seni, keangkuhan, dorongan-dorongan
untuk pamer semua faktor ini memainkan peran yang semakin dominan dalam
menentukan bentuk lahiriah konkret dari kebutuhan-kebutuhan fisiologik kita.
Dalam suatu masyarakat primitif, konsomsi sangat sederhana, karena kebutuhannya
sangat sederhana. Tetapi peradaban modren telah menghancurkan kesederhanaan
manis akan kebutuhan-kabutuhan ini.
D. Tujuan Konsumsi Islami
Tujuan utama
konsumsi seoarang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada
Allah. Sesungguhnya mengkonsusmsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan
stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsusmsi itu
bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Konsusmsi dalam
perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan
dan segala bentuk kegiatan ekonomi. Bahkan ukuran kebahagiaan seseorang diukur
dengan tingkat kemampummya dalam mengkonsusmsi. Konsep konsumen adalah raja'
menjadi arah bahwa aktifitas ekonomi khususnya produksi untuk memenuhi
kebutuhan konsumen sesuai dengan kadar relatifitas dari keianginan konsumen. Tujuan
konsumsi dalam ajaran Islam antara lain:[11]
1. Untuk mengharap Ridha Allah SWT. Tercapainya kebaikan dan
tuntutan jiwa yang mulia harus direalisasikan untuk mendapatkan pahala dari
Allah SWT. Seorang muslim ketika dihadapkan dengan sumber syariat akan mengarahkan
jiwanya pada urgensi pencapaian ketaatan dan keridhaan Allah SWT. Kehidupan
dunia merupakan jalan menuju keabadian akhirat yang menjadi tujuan orang shaleh
dalam setiap aktivitasnya. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. Al-Qashash:7)
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. Al-Qashash:7)
2. Untuk mewujudkan kerjasama antar anggota masyarakat dan
tersedianya jaminan sosial. Takdir manusia didunia ini berbeda-beda, ada yang
ditakdirkan menjadi kaya dan sebaliknya, ada yang pada posisi pertengahan.
Tidak pantas bagi seorang muslim yang melihat kerabat, tetangga, atau saudara
muslim yang kelaparang, sengsara, sedang ia tidak melakukan sesuatu apapun
untuk membantunya
3. Untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab individu terhadap
kemakmuran diri, keluarga dan masyarakat sebagai bagian aktivitas dan
dinamisasi ekonomi. Islam telah memberi kewajiban adanya oemberian nafkah
terhadap beberapa kelompok masyarakat yang termasuk dalam kategori saudara dan
yang digolongkan sebagai saudara.
Dalam konsumsi, seorang muslim harus
memperhatikan kebaikan (kehalalan) sesuatu yang akan di konsumsinya. Para
fuqaha' menjadikan memakan hal-hal yang baik ke dalam empat titigkatan (Ibnu
Muflih, 3:197-204). Pertama, wajib, yaitu mengkonsumsi sesuatu yang
dapat menghindarkan diri dari kebinasaan dan tidak mengkonsusmsi kadar ini
padahal mampu yang berdampak pada dosa. Kedua, sunnah, yaitu
mengkonsusmsi yang lebih dari kadar yang menghindarkan diri dari kebinasaan dan
menjadikan seoarang muslim mampu shalat dengan berdiri dan mudah berpuasa. Ketiga,
mubah, yaitu sesuatu yang lebih dari yang sunnah sampai batas kenyang. Keempat,
konsusmsi yang melebihi batas kenyang, yang dalam hal ini terdapat dua
pendapat, ada yang mengatakan makruh yang satunya mengatakan haram.
Konsumsi bagi seorang muslim hanya
sekedar perantara untuk menambah kekuatan dalam mentaati Allah, yang ini
memiliki indikasi positif dalam kehidupannya. Seorang
muslim tidak akan merugikan dirinya di dunia dan akhirat, karena memberikan
kesempatan pada dirinya untuk mendapatkan dan memenuhi konsusmsinya pada
tingkat melampaui batas, membuatnya sibuk mengejar dan menikmati kesenangan
dunia sehingga melalaikan tugas utamanya dalam kehidupan ini. "Kamu
telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan duniawi (saja) dan
kamu telah bersenang-senang dengannya" (Al-Ahqaf: 20). Maksud
rizki yang baik di sini adalah melupakan syukur dan mengabaikan orang lain.
Oleh sebab itu, konsumsi islam harus menjadikannya ingat kepada Yang Maha Memberi
rizki, tidak boros, tidak kikir, tidak memasukkan ke dalam mulutnya dari
sesuatu yang haram dan tidak melakukan pekerjaan haram untuk memenuhi
konsumsinya. Konsumsi islam akan menjauhkan seseorang dan sifat egois, sehingga
seoarang muslim akan menafkahkan hartanya untuk kerabat terdekat
(sebaik-baik infak), fakir miskin dan orang-orang yang mumbutuhkan dalam rangka
mendekatkan diri kepada penciptanya.
E.
Prinsip-prinsip
Dasar dalam Konsumsi Menurut Islam
Menurut Abdul
Mannan bahwa perintah Islam mengenai konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip,
yaitu:[12]
a.
Prinsip Keadilan
b.
Prinsip Kebersihan
c.
Prinsip Kesederhanaan
d.
Prinsip Kemurahan Hati
e.
Prinsip Moralitas.
Konsumsi islam senantiasa
memperhatikan halal-haram, komitmen dan konsekuen dengan kaidah-kaidah dan
hukum-hukum syariat yang mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumsi
seoptimal mungkin dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak
mudharat baik bagi dirinya maupun orang lain. Adapun kaidah/prinsip dasar
konsumsi islami adalah (AI-Haritsi, 2006):
1. Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang
harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari:
Ø Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai
sarana untuk ketaatan/beribadah sebagai perwujudan keya.kinan man.usia sebagai
makhluk yang mendapatican beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya
diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya.
Ø Prinsip ilmu, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi
harus tahu ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang
berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik
ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya.
Ø Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu
yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut. Seseorang ketika sudah
berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal
serta menjauhi yang halal atau syubhat.
2. Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas
kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat islam, di antaranya
Ø Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya
tengah-tengah antara menghamburkan harta dengan pelit, tidak bermewah-mewah,
tidak mubadzir, hemat.
Ø Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam
mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar
pasak daripada tiang.
Ø Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan
digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan
kekayaan itu sendiri.
3. Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan
kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
Ø Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar
manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya
serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok.
Ø Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah atau
meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih balk, misalnya konsumsi madu,
susu dan sebagainya.
Ø Tersier, yaitu untuk memenuhi konsumsi manusia yang
jauh lebih membutuhkan.
4. Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial
di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di
antaranya:
Ø Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan
menolong.
Ø Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam
berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak
mendapat sorotan di masyarakatnya.
Ø Tidak membahayakan orang lain yaitu dalam mengkonsumsi
justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain seperti merokok.
5. Kaidah lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus
sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya alam dan keberlanjutannya
atau tidak merusak lingkungan.
6. Tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang
tidak mencerminkan etika konsusmsi islami seperti suka menjamu dengan tujuan
bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan menghambur-hamburkan harta.
F.
Etika
Konsumsi dalam Islam
Berlakunya
bebereapa instrumen seperti yang di asumsikan oleh Monzer Kahf diantaranya:
Islam dilaksanakan oleh masyarakat, zakat, tidak ada riba dalam perekonomian
itu dalam ekonomi Islam tentu berdampak pula kepadaperubahan prilaku konsumsi
bila tanp instrumen tersebut. [13] Adapun
etika konsumsi islam harus memperhatikan beberapa hal, di antaranya adalah:
1.
Jenis barang yang dikonsumsi adalah
barang yang baik dan halal (halalan thoyyiban) yaitu:
a. Zat, artinya secara materi barang tersebut telah
disebutkan dalam hukum syariah. Halal, dimana asal hukum makanan adalah boleh
kecuali yang dilarang (Al-Baqarah: 168-169, An-Nahl: 66-69). Haram, dimana
hanya beberapa jenis makanan yang dilarang seperti babi, darah (Al-Baqarah:
173, Al-Maidah: 3,90).
b. Proses, artinya dalam prosesnya telah memenuhi kaidah
syariah, misalnya Sebelum makan baca basmalah, selesai makan baca hamdalah,
menggunakan tangan kanan dan bersih. Cara mendapatkannya tidak dilarang, misal:
riba (Al-Imran: 130), merampas (An-Nissa’: 6), judi (Al-Maidah: 91), menipu,
mengurangi timbangan, tidak menyebut Allah ketika disembelih, proses tercekik,
dipukul, jatuh, ditanduk kecuali yang sempat disembelih sebelum matinya
(Al-Maidah: 3).
2.
Kemanfaatan atau kegunaan barang
yang dikonsumsi
3.
Kuantitas barang yang dikonsumsi
tidak berlebihan
Etika komsumsi dalam Islam
mengutamakan mashlahah/manfaat dan
menghindari israf (pemborosan)
ataupun tabzir (menghambur-hamburkan) uang/harta tanpa guna.
Konsumsi merupakan pemakaian atau penggunaan manfaat dari barang dan jasa.
Sehingga konsumsi merupakan tujuan yang penting dari produksi, tetapi yang tujuan yang utama adalah konsumsi
untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang lahir dan batin.[14]
Konsumsi merupakan seruan dari Allah kepada manusia untuk hidupnya di dunia ini
agar dapat menjalankan perannnya sebagai khalifah di bumi. Sehingga segala hal
yang kita lakukan di dunia ini tidak terlepas dari norma-norma ilahiyah
sehingga dalam hal konsumsi pun kita harus mengikuti kaidah-kaidah ilahiyah.
Etika konsumsi
menurut Naqvi adalah sebagai berikut:[15]
a. Tauhid (Unity/ Kesatuan)
Karakteristik utama dan pokok dalam Islam adalah “tauhid” yang
menurut Qardhawi dibagi menjadi dua kriteria, yaitu: Kriteria pertama
menunjukkan maksud bahwa tujuan akhir dan sasaran Islam adalah menjaga hubungan
baik dan mencapai ridha-Nya. Sehingga pengabdian kepada Allah merupakan tujuan
akhir, sasaran, puncak cita-cita, usaha dan kerja keras manusia dalam kehidupan
yang fana ini. Kriteria kedua adalah rabbani yang masdar (sumber hukum)
dan manhaj (sistem). Kriteria ini merupakan suatu sistem yang ditetapkan
untuk mencapai sasaran dan tujuan puncak (kriteria pertama) yang bersumber
al-Qur’an dan Hadits Rasul.
b. Adil (Equilibrium/ Keadilan)
Khursid Ahmad mengatakan, kata ‘adl dapat diartikan seimbang (balance)
dan setimbang (equlibrium). Atas sebab dasar itu ia menyebutkan konsep al-‘adl
dalam prespektif Islam adalah keadilan Ilahi.
Salah satu manifestasi keadilan menurut al-Qur’an adalah kesejahteraan.
Keadilan akan mengantarkan manusia kepada ketaqwaan, dan ketaqwaan akan
menghasilkan kesejahteraan bagi manusia itu sendiri.
c. Free Will (Kehendak Bebas)
Manusia merupakan makhluk yang berkehendak bebas namun kebebasan ini
tidaklah berarti bahwa manusia terlepas dari qadha dan qadar yang
merupakan hukum sebab-akibat yang didasarkan pada pengetahuan dan kehendak
Tuhan.
d. Amanah (Responsibility/ Pertanggungjawaban)
Etika dari kehendak bebas adalah pertanggungjawaban. Dengan kata lain,
setelah manusia melakukan perbuatan maka ia harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Dengan demikian prinsip tanggung jawab merupakan suatu hubungan
logis dengan adanya prinsip kehendak bebas.
e. Halal
Kehalalan adalah salah satu kendala untuk memperoleh maksimalisasi kegunaan
konsumsi salam kerangka Ekonomi Islam. Kehalalan suatu barang konsumsi
merupakan antisipasi dari adanya keburukan yang ditimbulkan oleh barang
tersebut.
f. Sederhana
Sederhana dalam konsumsi mempunyai arti jalan tengah dalam berkomunikasi.
Diantara dua cara hidup yang ekstrim antara paham materilialistis dan zuhud.
Ajaran al-Qur’an menegaskan bahwa dalam berkonsumsi manusia dianjurkan
untuk tidak boros.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Konsumsi merupakan bagian aktifitas
ekonomi yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Konsumsi adalah fitrah
manusia untuk mempertahankan hidupnya. Jika manusia masih berada dalam fitrah
yang suci, maka manusia sadar bahwa konsumsi memiliki keterbatasan baik dari
segi kemampuan harta maupun apa yang akan dikonsumsi sesuai dengan
kebutuhannya. Teori konsumsi islam membatasi konsumsi berdasarkan konsep harta
dan berbagai jenis konsumsi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah islam demi
keberlangsungan dan kesejahteraan manusia itu sendiri. Dalam islam aktifitas
konsumsi telah diatur dalam bingkai syariah, sehingga dapat menuntun seorang
muslim agar tidak terjerumus dalam keharaman dan apa yang dikonsumsinya menjadi
berkah.
Adapun etika konsumsi islam harus
memperhatikan beberapa hal, di antaranya adalah:
1.
Jenis barang yang dikonsumsi adalah
barang yang baik dan halal (halalan thoyyiban)
2.
Kemanfaatan atau kegunaan barang
yang dikonsumsi, artinya lebih memberikan manfaat dan jauh dari merugikan baik
dirinya maupun orang lain.
3.
Kuantitas barang yang dikonsumsi
tidak berlebihan dan tidak terlalu sedikit atau kikir atau bakhil, tapi
pertengahan (Al-Furqon: 67), serta ketika memiliki kekayaan berlebih harus mau
berbagi melalui zakat, infak, sedekah maupun wakaf dan ketika kekurangan harus
sabar dan merasa cukup dengan apa yang dimilikinya.
Daftar
Pustaka
Abdul Aziz. 2008. Ekonomi
Islam Analisis Mikro dan Makro. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Adiwarman A. Karim.
2014. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta:Rajawali Pers.
Mustaq Ahmad. 2003. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Muh. Said. 2008. Pengantar
Ekonomi Islam Pekanbaru: Suska Press.
Mawardi. 2007. Ekonomi Islam. Pekanbaru:
Alaf Riau.
Mannan. 2005 yang ditulis oleh Muhammad”Ekonomi
Mikro Islam”
Suherman Rosyidi. 2000. Pengantar
Teori Ekonomi (Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro & Makro). Jakarta
: PT Raja Grafindo Perasada.
https://devilmycry4.wordpress.com/2011/06/28/etika-islam-dalam-bidang-konsumsi/
http://konsultanekonomi.blogspot.com/2012/05/etika-konsumsi-dalam-perspektif-syariah.html
[1]
http://id.wikipedia.org/wiki/Konsumsi
[2]
Suherman
Rosyidi. Pengantar Teori Ekonomi (Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro
& Makro). Jakarta : PT Raja Grafindo Perasada. 2000. Hlm 147-148
[3]
QS.
Al-Baqarah, 2: 268
[4] QS.
Al-Maidah, 7: 32
[5] Abdul Aziz. Ekonomi
Islam Analisis Mikro dan Makro. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2008, hlm 37
[6]
Justifikasi
adalah alasan atau pertimbangan berdasarkan hati nurani
[7]
Mustaq Ahmad. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.2003. hlm, 142
[8] Muhammad
Al-Mubarok. Nizamul Islam, Al-Iqtishad. Bairut; Darul Fikr. 1972, hlm,
87
[9]
Mannan, yang ditulis oleh Muhammad”Ekonomi
Mikro Islam” . 2005. Hlm 165
[11]
https://rianapuji.wordpress.com/2014/03/30/makalah-etika-islam-dalam-bidang-produksi-konsumsi-dan-distribusi/
[12]
Muh. Said. Pengantar Ekonomi Islam (Pekanbaru: Suska Press,
2008), hlm. 81
[13]
Adiwarman A.
Karim. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta:Rajawali Pers. 2014. Hlm, 116-117
[14]http://konsultanekonomi.blogspot.com/2012/05/etika-konsumsi-dalam-perspektif-syariah.html
[15]
Mawardi. Ekonomi Islam, (Pekanbaru:
Alaf Riau: 2007), hlm 82
Tidak ada komentar:
Posting Komentar