Rabu, 21 Januari 2015

Makalah Ushul Fiqh. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Fiqh

USHUL FIQH
“SEJARAH PERTUMBUHAN ILMU FIQH”
                     Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mandiri dari Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Bp. Drs. H. Musnad Rozin, MH
Disusun Oleh:
Nama : Hero Tamo
NPM : 13103054
No. : 105
Kelas : C
Prodi : Ekonomi Syariah
Jurusan : Syariah


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO

2014


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Sehubungan dengan tugas mata kuliah Ushul Fiqh, penulis telah menyelesaikan makalah yang berjudul Sejarah dan Pertumbuhan Ilmu Fiqh, Pada Masa Nabi Muhammad SAW, Sahabat, dan imam-imam mujtahid. Makalah ini disusun dengan mengacu kepada referensi-referensi yang ada.





Metro, 18 Desember 2014
HERO TAMO (13103054)





DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar................................................................................................. i
Daftar Isi.......................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan  
A.    Latar Belakang..................................................................................... iii
B.     Rumusan Masalah................................................................................. iv
C.     Tujuan................................................................................................... iv
BAB II Pembahasan
A.    Pengartian Ilmu Fiqh............................................................................ 1
B.     Sejarah Pertumbuhan Ilmu Fiqh........................................................... 1
1.      Periode Pertumbuhan (Masa Rasulullah)........................................ 3
2.      Periode Sahabat.............................................................................. 4
3.      Periode Kesempurnaan (Periode Imam-Imam Mujtahid)............... 6
4.      Periode Kemunduran (Periode Taklim).......................................... 8
5.      Periode Kebangkitan Kembali........................................................ 10
BAB III Penutup       
A.    Kesimpulan........................................................................................... 12
B.     Kritik & Saran...................................................................................... 12

Daftar Pustaka




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh. Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari pada ilmu ushul fiqh.
Pada dasanya ushul fiqh telah ada bahkan ketika Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika diutus untuk menjadi gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila dia harus menetapkan hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan terakhir ini bahwa dia akan menetapkan hukum melalui ijtihadnya, dan ternyata jawaban Muadz tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah. Dari cerita singkat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah pada masanya telah mempersiapkan para sahabat agar mempunyai alternatif cara pengambilan hukum apabila mereka tidak menemukannya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah. Namun pada masa ini belum sampai kepada perumusan dan prakteknya, karena apabila para sahabat tidak menemukan hukum dalam al-Qur’an mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah.
Berdasarkan uraian di atas diperlukan sekali adanya pemahaman tentang hukum-hukum dalam Islam yang sesuai dengan hal sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Dengan demikian, diharapkan tidak terjadinya kesulitan di dalam pemahaman sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses pertumbuhan Ilmu Fiqh ?
2.      Bagaimana tahapan atau periodesasi dalam pertumbuhan Ilmu Fiqh ?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetetahui proses pertumbuhan Ilmu Fiqh.
2.      Untuk mengetahui tahapan atau periodesasi pertumbuhan Ilmu Fiqh.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ilmu Fiqh
Di lihat dari sudut bahasa, fiqh berasal dari kata faqana yang berarti memahami dan mengerti. Dalam peristilahan syar’i, ilmu fiqh dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’i amali (praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalil yang terperinci.
Hukum syar’i yang dimaksud dalam definisi diatas adalah segala perbuatan yang diberi hukumnya itu sendiri dan diambil dari syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Adapun kata ‘amali dalam definifi itu dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa yang menjadi lapangan pengkajian ilmu ini hanya yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan tidak termasuk keyakinan atau iktikad dari mukallaf itu. Sedangkan dalil-dalil yang terperinci  maksudnya adalah dalil-dalil yang terdapat dan terpapar dalam nash dimana satu per satunya menunjuk pada satu hukum tertentu.[1]
B.     Sejarah Pertumbuhan Ilmu Fiqh
Fiqh Islami yang kita kenal sekarang ini, tidak  tumbuh sekaligus, dia tumbuh berangsur-angsur. Dalam pada itu perlu ditegaskan bahwa sebelum Rasulullah berpulang kerahmatullah, beliau telah menyempu rnakan dasar-dasar yang pokok dan prinsip-prinsip yang penting maka para ulama dan fuqana yang berpedoman pada dasar-dasar itu dapat menetapkan hukum sesuai dengan keadaan masa, tempat dan suasana. Memahami hukum dinamai juga fiqh tak ada perbedaan antara satu hukum dengan yang lainnya. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah SWT: “Apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap golongan ada segolongan yang berangkat untuk memperdalam paham (pengertian) dalam urusan agama dan untuk memperingatkan kaumnya bila mereka kembali (dari menuntut ilmu) mudah-mudahan mereka (kaumnya) berhati-hati (dapat menjaga batas-batas perintah Allah)”. QS. At-Taubah A:122.[2]
Rasullullah SAW, meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnahnya sebagai senjata penyelesai semua masalah. Sepeninggalnya, wilayah Islam semakin luas dan persoalan semakin banyak, sementara jumlah nas yang ditinggalkan tidak bertambah. Untungnya, sinyal untuk berijtihad bagi generasi sesudahnya dibuat. Karena itu para pemikir Islam siap berijtihad menjawab tantangan zaman,  sehingga Islam tetap relevan dengan situasi dan kondisi masyarakatnya. Sejarah mencatat bahwa keputusan dan pendapat para ulama satu dengan yang lain tidak harus sama, tergantung pada kepastian berfikir dan kondisi lingkunagn. perbedaan pendapat tidak dimaksudkan untuk membuka jalan pertikaian bagi umat Islam, atau berebut benar dan menang sendiri, tetapi lebih bersifat multialternatif.[3]
Dalam fiqh, ada salah satu cabang ilmu yang disebut Tarikh al-Tasyri, dan berisikan sejarah dan perkembangan hukum Islam. Misalnya, Syaikh al-Hudlari Bik membaginya dengan enam periode yaitu: pertama, Masa Rasulullah. Kedua, masa sahabat besar. Ketiga, masa sahabat kecil. Keempat, masa fiqh jadi satu ilmu tersendiri. Kelima, masa masalah-masalah fiqh dijadikan bahan perdebatan untuk mempertahankan masalah-masalah fiqh yang diambil dari Imam mazhab. Keenam, masa Taklid. Ustadz Abdul Wahab Khalaf membaginya menjadi empat periode yaitu: pertama, Masa Rasulullah. Kedua, Masa Sahabat. Ketiga, Masa pembukuan fiqh dan Imam-imam mujtahid. Keempat, masa Taklid.
Di Indonesia, Ahmad Hanafi M.A., membaginya menjadi lima fase yaitu: pertama, Fase permulaan hukum Islam. Kedua, fase persiapan hukum Islam. Ketiga, fase pembinaan dan pembukuan hukum Islam. Keempat, fase kemunduran hukum Islam. Kelima, fase kebangunan.[4]
Sejalan dengan perkembangan ilmu fiqh, sistematikanya dibagi kedalam lima periode yaitu: Pertama, Periode Rasulullah. Kedua, Periode Sahabat. Ketiga, periode Imam-imam Mujtahid. Keempat, periode kemunduran. Kelima, Periode Kebangunan kembali.[5]
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy membagi menjadi enam masa yaitu: pertama, Masa Nabi Muhammad SAW. Kedua, Masa Khulafa Ar-rasyidin dan Awamiyin. Ketiga, Masa Abbasiyah dan Mujtahidin, Masa Pembukuan Fiqh. Keempat, Masa Taklid dan Jumud. Kelima, Masa Gerakan Pembangunan Kembali Fiqh Islam.[6]
Para ahli membagi sejarah perkembangan Ilmu Fiqh kepada beberapa periode.[7]
Pertama, periode pertumbuhan, dimulai sejak kebangkitan Nabi Muhammad SAW. Sampai beliau wafat (12 Rabi’ul Awwal 11H/8 Juni 632 M). Kedua, periode sahabat dan tabiin mulai dari khalifah pertama (khulafat rasyidin) sampai pada masa Dinasti Amawiyyin (11H-101H/632M-720M). Ketiga, periode kesempurnaan, yakni periode Imam-Imam mujtahid besar dirasah Islamiyah pada masa keemasan bani Abbasiyah yang berlangsung selama 250 tahun (101H-350H/720M-961M). Keempat, periode kemunduran sebagai akibat taklid dan kebekuan karena hanya mengandalkan produk-produk ijtihad mujtahid-mujtahid sebelumnya yang dimulai pada pertengahan abad ke-4 H sampai akhir abad ke-13 H, atau sampai terbitnya buku al-Majallat al-ahkam al-‘Adliyat tahun 1876 M. Kelima, periode pembanguna kembali, mulai dari terbitnya buku itu sampai sekarang. Masing-masing periode diatas dapat dirinci sebagai berikut:
1.      Periode Pertumbuhan (Masa Rasulullah)
Periode ini berlansung selama 22 tahun beberapa bulan yang dibagi pada dua masa:
Pertama, ketika Nabi masih berada dimakkah melakukan dakwah perorangan secara sembunyi-sembunyi dengan memberikan penekanan kepada aspek tauhid. Kemudian diikuti dengan dakwah terbuka. Masa itu berlangsung kurang lebih 13 tahun dan sedikit ayat-ayat hukum yang diturunkan. Hal ini memang wajar, bagaikan mendirikan sebuah bangunan, fondasinyalah yang dibangunterlebih dahulu, dan setelah itu bagian lainnya diatas fondasi itu. Begitu pula halnya membangun manusia beragama, keimanan dan tauhidlah yang perlu ditanamkan terlebih dahulu, karena itulah dasar dari agama itu sendiri.
Kedua, sejak Nabi hijrah ke Madinah (16 Juli 622M). Pada masa ini terbentuklah negara Islam yang dengan sendirinya memerlukan seperangkat aturan hukum untuk mengatur sistem masyarakat Islam Madinah. Oleh karena itu, sejak masa ini secara berangsur-angsur wahyu Tuhan mulai berisi hukum-hukum, baik karena sesuatu peristiwa kemasyarakatan yang memang memerlukan penanganan yuridis dari Nabi, ataupun karena adanya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat, atau juga wahyu yang diturunkan oleh Allah tanpa suatu sebab seperti diatas. Pada masa ini fiqh lebih bersifat praktis dan realis, dalam arti kaum muslimin mencari hukum dari suatu peristiwa tersebut betul-betul terjadi.
Sumber hukum pada periode ini adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik yang kata-kata dan maknanya langsung dari Allah (Al-Qur’an) maupun hanya maknanya dari Allah, sedang kata-katanya dari Nabi (hadits).
2.      Periode Sahabat
Periode ini bermula tahun 11H (sejak Nabi wafat) sampai akhir abad pertama Hijriyah (kurang lebih 101 H). Pada masa ini daerah kekuasaan Islam semakin luas, meliputi beberapa daerah diluar Semenanjung Arabia, seperti Mesir, sria, Irak dan iran (Persia). Dan, bersamaan denga itu pula agama Islam berkembang dengan pesat mengikuti perkembangan daerah itu sendiri.
Di periode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syariat yang sempurna berusa Al-Qur’an dan hadits Rasul. Hanya tidak semua orang dapat memahami materi atau kaidah hukum yang terdapat pada kedua sumber itu secara benar.
Karena, pertama, baik karena tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama maupun karena masa atau pergaulan mereka yang tidak memahami sumber tersebut seorang diri tanpa bantuan orang lain. Kedua, belum tersebar luasnya materi atau teori-teori hukum itu dikalangan kaum muslimin akibat perluasan daerah seperti disebut diatas. Ketiga, banyaknya peristiwa hukum baru yang belum pernah terjadi pada masa Rasullullah yang ketentuan hukumnya secara pasti tidak ditemukan dalam nash syariat.
Didorong oleh ketiga hal tersebut diatas, para sahabat utama merasa dituntut untuk memberikan tantangan segala hal yang perlu dijelaskan, memberi tafsiran terhadap ayat atau hadis serta memberi fatwa tentang kasus-kasus yang terjadi pada masa itu, tapi tidak ditemukan ketentuan hukumnya dalam nash dengan melakukan ijtihad. Oleh karena itu, sumber hukum Islam pada masa sahabat ini bertambah dengan ijtihad sahabat disamping Al-Qu’an dan Hadits.
Prosedur penetapan hukum yang ditempuh oleh sahabat pada masa ini adalah melalui penelusuran mereka terhadap Al-Qur’an dan Hadits. Bila dari kedua sumber ini tidak ditemukan ketentuan-ketentuan hukum dari suatu kasus yang dihadapi, mereka berijtihad sendiri, tetapi denga jalan qiyas atau berpedoman kepada kemaslahatan orang banyak.
Wajar apabila dikalangan para sahabat dalam melakukan ijtihat terdapat perbedaan-perbedaan pendapat. Hal ini karena, pertama, kebanyakan ayat Al-Qur’an dan Hadits bersifat zhanny dari sudut pengertian, kedua, belum termodifikasinya hadits nabi yang dapat dipedomi secar utuh dan menyeluruh. Ketiga, lingkungn dan kodisi daerah yang dialami, persoalan-persoalan yang dialami  serta dihadapi oleh sahabat-sahabat itu tidak sama.
Selain itu, pergolakan politik yang terjadi pada masa Ali Bin Abi Thalib yang berakibat terpecahnya umat Islam kepada golongan khawarij, Syi’ah, dan Al-Sunnah juga cukup berpengaruh kepada terjadinya perbedaan pendapat itu. Kelompok khawarij tidak mau menerima hadis riwayat Usman, Ali, Muawiyah atau siapa saja yang sealiran dengan tiga sahabat utama tersebut. Tidak hanya riwayat hadis, tetapi pendapat dan fatwa-fatwa mereka ditolak oleh kelompok khawarij. Di lain pihak, kelompok Syi’ah menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat selain Ali beserta ahl bait dan imam-imam mereka. Dengan sikap beragama seperti masing-masing kelompok diatas dengan sendirinya mempunyai aliran hukum dalam Islam. Sedangkan kalangan Ahli Sunnah Wal Jama’ah dapat menerima semua hadis syahih yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dipercaya tanpa membeda-bedakan dari kelompok mana mereka berasal, kelompok yang disebut terakhir ini juga bersedia mengambil fatwa atau pendapat sahabat secar umum.
3.      Periode Kesempurnaan (Periode Imam-imam Mujtahid)
Periode ini disebut juga periode pembinaan dan pembukuan hukum Islam. Pada masa ini Fiqh Islam mengalami kemajuan yang pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum Islam dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadis-hadis Nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabiin, tafsir Al-Qur’an kumpulan pendapat imam-imam fiqh dan penyusunan ilmu ushul fiqh.
Diantara faktor yang menyebabkan pesatnya ijtihad pada masa itu adalah karena meluasnya daerah kekuasaan Islam, mulai dari perbatasan Tiongkokndi sebelah Timur sampai ke Andalusia (Spanyol), sebelah Barat.
Sudah barang tentu, perluasan daerah dari suatu negara akan berdampak semakin luas pada jumlah dan bobot persoalan yang dihadapi, baik menyangkut sosial politik ketatanegaraan maupun hal-hal yang perlu diselesaikan oleh pemimpin dan para ulama. Mereka, terutama ulama-ulama, dituntut untuk berfatwa dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang freskuensinya selalu  bertambah dari masa ke masa. Keadaan ini menentang mereka untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi berdasarkan penalaran ilmiah yang intens. Dan, kondisi seperti ini pulalah antara lain yang menyebabkan lahirnya pemikir-pemikir besar dengan berbagai karya besarnya masing-masing, seperti Imam Abu Hanafiah dengan salah seorang muridnya yang terkenal Abu Yusuf (penyusunan kitab ilmu fiqh yang pertama), Imam Malik dengan kitabnya al-Muwatha’, Imam Syafi’i dengan kitabnya al-Umm atau al-Risalat, Imam Ahmad dengan kitabnya Musnad, dan beberapa nama lainnya.
Diantara faktor lain yang menentukan pesatnya perkembangan ilmu fiqh khususnya atau ilmu pengetahuan pada umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut:
a)      Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar terhadap ilmu fiqh khusunya, atau terhadap ilmu pengetahuan pada umumnya.
b)      Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-diskusi ilmiah dikalangan ulama.
c)      Telah terkodefikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an ( pada masa Khalifah ar Rasyidin), hadis (pada masa Umar bin Abdul Aziz, 99-101H dari Dinasti Bani Umayyah), tafsir dan ilmu tafsir pada abad pertama hijriyah, yang dirintis oleh Ibnu Abbas (w. 68 H) dan muridnya, Mujahid (w. 104 H) dan kitab-kitabnya.
Perlu dicatat pada masa kecermelengan ilmu pengetahuan, khususnya fiqh, ini terutama sekali pada jangka waktu 100 tahun pertama berkuasanya Daulat Bani Abbasiyah (750M-1258M), yang puncaknya terjadi pada masa Khalifah Harun ar-rasyid (786M-809M), dan Khalifah al-Makmun (813M-833M). Pada masa inilah muncul ilmuan-ilmuan besardengan berbagai bidang Ilmunya. Khusus di bidang fiqh tercatatlah nama-nama seperti disebut di atas : Abu Hanifah (699M-767M), Malik (712M-798M), Syafi’i (767M-820M), Ahmad (782M-856M) dan lain sebagainya. Ahli sejarah mencatat periode ini sebagai periode peradaban Islam sangat tinggi.
Banyak Khalifah Bani Abbasiyah yang menaruh perhatiaan besar kepada ilmu fiqh. Khalifah Al-Mansyur, misalnya, sering memberi hadiah kepada kepada ulama yang berprestasi dibidang keilmuannya; Khalifah Harun ar-Rasyid menugaskan Yusuf menyusun kitab fiqh tentang harta kekayaan negara yang ada sumber-sumber pemasukannya, kemudian mengangkatnya sebagai hakim agung (qhadi al-qhudat). Dimasa ini juga Imam Malik menyusun karya monumentalnya “al-muwatha”, sebuah kitab yang dinilai oleh Imam Syafi’i merupakan satu-satunya kitab terbaik sesudah Al-Qur’an. Kitab ini disusun oleh Imam Malik antara lain atas anjuran KhalifahAbu Ja’far al-Mansyur (Khalifah kedua Bani Abbas, 754M-775M). Begitu juga Khalifah al-Makmun yang selalu mendorong ulama untuk mengadakan diskusi dan ia sendiri sering mengikuti diskusi tersebut.
4.      Periode Keemunduran (Masa Taklid)
Seperti telah diterangkan sebelumnya, periode kemunduran ini memakan waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar sembilan setengah abad. Dari pertengah abad Ke 4H-13H.[8]
Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah akibat berbagai konflim politik dan beberapa faktor dalam keadaan lemah. Banyak daerah yang melepaskan diri dari kekuasaanya dan mendirikan kerajaan sendiri-sendiri, seperti kerajaan Bani Samani di Turkistan (874M-999M), Bani Ikhsyidi di Mesir (935M-1055M) dan beberapa kerajaan kecil lainnya yang saling berebut kekuasaan.
Pada umumnya, ulama-ulama yang berada pada masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagai mana dilakukan oleh para pendahulu. Merrka merasa puas dengan mengikuti pendapat pendapat yang ada. Sikap seperti inilah yang mengantarkan dunia Islam ke alam taklid, kaum muslimin terperangkap kealam pikiran yang jumud dan statis.
Sebenarnya, sampai pertengahan abad VII H, umat Islam belumlah meninggalkan ijtihad sama sekali. Mereka berijtihad, tetapi terbatas pada persoalan-persoalan yang tidak terdapat dalam fiqh mazhabnya, dan dalam berijtihad mereka berpegang kepada metode yang ditetapkan imam mazhab tersebut. Oleh sebab itu,  pada masa sampai pertengahan abad ke VII H ini masih didapati ulama yang diklasifikasikan sebagai mujtahid muqqayad atau mujtahid fi al mazhab, berijtihad terkait dengan sistem mazhab tertentu pada masa ini dalam arti meninggalkan ijtihad mutlak.
Semenjak pertengahan abad VI samapi akhir periode ini, umat Islam benar-benar berada dalam suasana taklid, statis, dan jumud. Mereka meninggalkan ijtihad dalam segala tingkatnya, sehingga perkembangan ilmu fiqh terhenti , statis dan semakin lama semakin tertinggal jauh dari arus perkembangan zaman. Masa inilah yang disebut sebagai masa kemunduran.
Faktor-faktor lain yang mendorong lahirnya sikap taklid dan kemunduran sebagaimana yang telah disinggung tadi. Faktor-faktor tersebut antara lain:[9]
a.       Efek samping dari pembukuan fiqh pada periode sebelumnya
Dengan adanya kitab-kitab fiqh yang ditulis oleh ulama-ulama sebelumnya baik untuk persoalan-persoalan yang benar-benar telah-telah terjadi atau diprediksi akan terjadi memudahkan umat Islam pada periode ini merujuk semua persoalan hukumnya kepada kitab-kitab yang ada itu.  Sehingga mematikan kreatifitas dan menumbuhkan sifat malas.
b.      Fanatisme mazhab yang sempit
Murid atau atau pengikut imam mujtahid terdahulu itu berusaha membela kebenaran pendapat mazhabnya masing-masing dengan berbagai cara.
c.       Pengangkatan hakim-hakim muqallid
Kehidupan taklid pada masa ini semakin subur ketika pihak penguasa (khalifah) mengangkat para hakim dari orang-orang yang bertaklid.
5.      Periode Kebangunan Kembali
Ahli sejarah mencatat kemunduran muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1798 M. Para raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berfikir bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Gerakan pembaharun ini cukup berpengaruh pula terhadap perkembangan fiqh. Banyak diantara pembaharuan itu juga adalah adalah ulama-ulama yang berperan dalam perkembangan fiqh itu sendiri. Mereka berseru agar meninggalkan taklid dan kembali kepada Al-Qur’an dan hadis. Mereka inilah yang disebut golongan salaf, seperti Muhammad Bin Abdul Wahab (1791M-1787M), di Saudi Arabia, Muhammad Al-Sanusi (1791-1859M), di Libya dan Maroko, Jamal Al-Din Al-Afgani (1839M-1897M), Muhammad Abduh (1849M-1906M), Muhammad Rasyid Rida ( 1865M-1935M) di Mesir. Dll.
Sebenarnya, usaha kearah pembaharuan telah diawali oleh Ibnu Taimiyah, pada awal abad ke VII H. Tokoh yang terlahir di Harran, Syiria, 12 Januari 1236 M (10 Rabiul Awwal 661 H) dan terkenal sebagai tokoh yang sangat keras menentang ketidak benaran dalam praktek keagamaan umat Islam ini, telah meresmikan perang terhadap taklid diperalihan abad ke 13 dan 14 M. Usaha ini kemudian membuat dijuluki umat Islam sebagai “bapak tajdid” dalam Islam, bapak yang menggerakkan umatnya agar keluar dari kungkungan mazhab-mazhab dan mulai memperbaharui sistem-sitem berfikir, membangun kembali hukum Islam sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Kitab dan Sunnah Rasul. Gerakan Ibnu Taimiyyah inilah yang kemudian ditindaklajuti oleh tokoh-tokoh Islam seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad Abduh, dsb, membangun kembali pemikiran keagamaan dalam Islam, termasuk bidang fiqh. Diantara tanda-tanda kebangunan fiqh Islam tersebut dapat dilihat pada periode ini. Umat Islam telah memulai mempelajari fiqh melalui cara perbandingan. Pengaruh seruan untuk meninggalkan taklid, antara lain, terlihat pada penyusunan perundang-undangan suatu negara yang tidak lagi hanya terpaud kepada mazhab tertentu, yaitu seperti di Turki Usmani dan Mesir.
Sebagaimana disebutkan pada halaman terdahulu, periode kebangunan ini, antara lain, ditandai dengan disusunnya kitab Majllat al-Ahkam al-‘Adliyyat di akhir abad ke-13 H, mulai 1285 H-1293H (1869M-1876M). Kitab ini disusun atas dasar keinginan pemerintah kerajaan Turki Usmani untuk menyusun fiqh dalam bentuk undang-undang yang diberlakukan di negaranya. Untuk maksud ini, dibentuklah suatu panitia beranggotakan tujuh orang dan diketuai oleh Ahmad Jaudat. Kitab ini merupakan kitab undang-undang hukum perdata dan diberlakukan sebagaiundang-undang pemerintah Turki Usmani pada tahun 1876 M.  Untuk itu, pemerintah Turki Usmani menetapkan Undang-undang Hukum Keluarga tersendiri pada tahun 1326 (1918M).
Sungguhpun kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyat ini bercorak mazhab Hanafi, tapi tidak berarti harus terkait kepada mazhab itu. Dalam persoalan-persoalan tertentu diambil dari mazhab yang berbeda, seperti mengenai pengampunan dan barang yang dirampas ketentuan hukumnya diambil dari mazhab Syafi’i dan , kewenangan transaksi jual beli bersyarat diambil dari mazhab Ibnu Syubrumah. Begitu pula pemerintah Mesir, yang semula mengikuti mazhab Hanafi, pada tahun 1920 mengeluarkan undang-undang tentang hukum keluarga yang mengambil hukumnya tidal lagi terbatas pada mazhab Hanafi tetapi pada mazhab empat. Pada tahun 1929M, pemerintahan Mesir mengeluarkan undang-undang baru yang berisi pembatalan terhadap beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang-undang keluarga terdahulu, dan tidak lagi terbatas pada mazhab tertentu melainkan juga dari mazhab lain yang sesuai dengan kemaslahatan orang banyak.
Tanda-tanda kemajuan dapat terlihat diberbagai bidang, diantaranya: Dibidang perundang-undangan, di bidang pendidikan, di bidang penulisan buku-buku dalam Bahasa Indonesia dan penerjemahan.[10]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ilmu Fiqh berkembang secara terus menerus dari suatu masa ke masa yang akan datang dan juga pada masa tersebut berbeda-beda sejarah pertumbuhannya. Mulai dari masa Rasul sampai sekarang ini. Periode-periode tersebut dapat dikelompokan menjadi lima masa atau periode, yaitu:
1.      Periode Pertumbuhan (Masa Rasulullah)
2.      Periode Sahabat
3.      Periode Kesempurnaan (Periode Imam-Imam Mujtahid)
4.      Periode Kemunduran (Periode Taklim)
5.      Periode Kebangkitan Kembali
Periode-periode tersebut menggambarkan keadaan yang cukup jelas dalam pertumbuhan Ilmu Fiqh. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa pertumbuhan Ilmu Fiqh tidak semudah yang di bayangkan selama ini.

B.     Kritik & Saran
Didalam pembuatan maka ini sungguh penilisan masih jauh dari kesempurnaan. Karena, masih banyak kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam pembuatan makalah ini. Sehingga penulis sangat memerlukan kritik dan saran yang membangun untuk pemnyusunan makalah selanjutnya.









[1] Alaiddin Koto. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2011. Hlm, 8

[2] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: CV. Mulya. 1967. Hlm, 8-9.
[3] Muh. Zuhri. HUKUM ISLAM DALAM LINTAS SEJARAH. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada. 1996. Hlm,7-8
[4] A. Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 2002. Hlm, 154
[5] H.A. Djazuli. ILMU FIQH : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta. Kencana. 2006. Hlm, 139-140.
[6] Ibid., hlm, 32
[7] Ibid., hlm, 13
[8] Ibid., hlm,155
[9] Ibid., 18
[10]Ibid., hlm, 159 


DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, H.A. 2006. ILMU FIQH : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana.
Hanafi, A. 2002. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 2002.
Koto, Alaiddin. 2011. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1967. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: CV. Mulya.
Zuhri, Muh.1996 HUKUM ISLAM DALAM LINTAS SEJARAH. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar