USHUL
FIQH
“SEJARAH
PERTUMBUHAN ILMU FIQH”
Makalah
ini di susun untuk memenuhi tugas mandiri dari Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen
Pengampu : Bp. Drs. H. Musnad Rozin, MH
Disusun Oleh:
Nama
: Hero Tamo
NPM
: 13103054
No.
: 105
Kelas
: C
Prodi
: Ekonomi Syariah
Jurusan
: Syariah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
JURAI SIWO METRO
2014
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT.
Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari
kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh
Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa
disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada
tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Sehubungan dengan tugas mata kuliah Ushul Fiqh, penulis telah menyelesaikan makalah yang
berjudul Sejarah dan Pertumbuhan Ilmu Fiqh, Pada Masa Nabi Muhammad
SAW, Sahabat, dan imam-imam mujtahid. Makalah ini disusun dengan
mengacu kepada referensi-referensi yang ada.
Metro, 18 Desember 2014
HERO TAMO (13103054)
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul
Kata Pengantar.................................................................................................
i
Daftar Isi..........................................................................................................
ii
BAB
I Pendahuluan
A.
Latar Belakang.....................................................................................
iii
B. Rumusan
Masalah.................................................................................
iv
C. Tujuan...................................................................................................
iv
BAB
II Pembahasan
A. Pengartian
Ilmu Fiqh............................................................................
1
B. Sejarah
Pertumbuhan Ilmu Fiqh...........................................................
1
1.
Periode
Pertumbuhan (Masa Rasulullah)........................................
3
2.
Periode Sahabat..............................................................................
4
3.
Periode
Kesempurnaan (Periode Imam-Imam Mujtahid)...............
6
4.
Periode
Kemunduran (Periode Taklim)..........................................
8
5. Periode
Kebangkitan Kembali........................................................
10
BAB
III Penutup
A.
Kesimpulan...........................................................................................
12
B.
Kritik &
Saran......................................................................................
12
Daftar Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena
ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para mujtahid
dalam menghasilkan fiqh. Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih
dahulu dari pada ilmu ushul fiqh.
Pada dasanya ushul fiqh telah ada bahkan ketika Rasulullah masih hidup, hal
ini didasari dengan hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bertanya
kepada Muadz bin Jabal ketika diutus untuk menjadi gubernur di Yaman tentang
apa yang akan dilakukan apabila dia harus menetapkan hukum sedangkan dia tidak
menemukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal
menjawab dalam pertanyaan terakhir ini bahwa dia akan menetapkan hukum melalui
ijtihadnya, dan ternyata jawaban Muadz tersebut mendapat pengakuan dari
Rasulullah. Dari cerita singkat tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah pada masanya telah mempersiapkan para
sahabat agar mempunyai alternatif cara pengambilan hukum apabila mereka tidak
menemukannya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah. Namun pada masa ini belum sampai
kepada perumusan dan prakteknya, karena apabila para sahabat tidak menemukan
hukum dalam al-Qur’an mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah.
Berdasarkan uraian di atas
diperlukan sekali adanya pemahaman tentang hukum-hukum dalam Islam yang sesuai
dengan hal sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Dengan demikian, diharapkan
tidak terjadinya kesulitan di dalam pemahaman sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana proses pertumbuhan Ilmu
Fiqh ?
2.
Bagaimana tahapan atau periodesasi
dalam pertumbuhan Ilmu Fiqh ?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetetahui proses
pertumbuhan Ilmu Fiqh.
2.
Untuk mengetahui tahapan atau
periodesasi pertumbuhan Ilmu Fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ilmu Fiqh
Di
lihat dari sudut bahasa, fiqh berasal dari kata faqana yang berarti memahami
dan mengerti. Dalam peristilahan syar’i, ilmu fiqh dimaksudkan sebagai ilmu
yang berbicara tentang hukum-hukum syar’i amali (praktis) yang penetapannya
diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalil yang
terperinci.
Hukum
syar’i yang dimaksud dalam definisi diatas adalah segala perbuatan yang diberi
hukumnya itu sendiri dan diambil dari syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW. Adapun kata ‘amali dalam definifi itu dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa
yang menjadi lapangan pengkajian ilmu ini hanya yang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf dan tidak termasuk keyakinan atau iktikad dari mukallaf itu. Sedangkan
dalil-dalil yang terperinci maksudnya
adalah dalil-dalil yang terdapat dan terpapar dalam nash dimana satu per
satunya menunjuk pada satu hukum tertentu.[1]
B.
Sejarah
Pertumbuhan Ilmu Fiqh
Fiqh
Islami yang kita kenal sekarang ini, tidak
tumbuh sekaligus, dia tumbuh berangsur-angsur. Dalam pada itu perlu
ditegaskan bahwa sebelum Rasulullah berpulang kerahmatullah, beliau telah
menyempu rnakan dasar-dasar yang pokok dan prinsip-prinsip yang penting maka
para ulama dan fuqana yang berpedoman pada dasar-dasar itu dapat menetapkan
hukum sesuai dengan keadaan masa, tempat dan suasana. Memahami hukum dinamai
juga fiqh tak ada perbedaan antara satu hukum dengan yang lainnya. Inilah yang
dimaksud dengan firman Allah SWT: “Apakah
tidak lebih baik dari tiap-tiap golongan ada segolongan yang berangkat untuk
memperdalam paham (pengertian) dalam urusan agama dan untuk memperingatkan
kaumnya bila mereka kembali (dari menuntut ilmu) mudah-mudahan mereka (kaumnya)
berhati-hati (dapat menjaga batas-batas perintah Allah)”. QS. At-Taubah
A:122.[2]
Rasullullah
SAW, meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnahnya sebagai senjata penyelesai semua
masalah. Sepeninggalnya, wilayah Islam semakin luas dan persoalan semakin
banyak, sementara jumlah nas yang ditinggalkan tidak bertambah. Untungnya,
sinyal untuk berijtihad bagi generasi sesudahnya dibuat. Karena itu para
pemikir Islam siap berijtihad menjawab tantangan zaman, sehingga Islam tetap relevan dengan situasi
dan kondisi masyarakatnya. Sejarah mencatat bahwa keputusan dan pendapat para
ulama satu dengan yang lain tidak harus sama, tergantung pada kepastian
berfikir dan kondisi lingkunagn. perbedaan pendapat tidak dimaksudkan untuk
membuka jalan pertikaian bagi umat Islam, atau berebut benar dan menang sendiri,
tetapi lebih bersifat multialternatif.[3]
Dalam
fiqh, ada salah satu cabang ilmu yang disebut Tarikh al-Tasyri, dan berisikan
sejarah dan perkembangan hukum Islam. Misalnya, Syaikh al-Hudlari Bik
membaginya dengan enam periode yaitu: pertama, Masa Rasulullah. Kedua, masa
sahabat besar. Ketiga, masa sahabat kecil. Keempat, masa fiqh jadi satu ilmu
tersendiri. Kelima, masa masalah-masalah fiqh dijadikan bahan perdebatan untuk
mempertahankan masalah-masalah fiqh yang diambil dari Imam mazhab. Keenam, masa
Taklid. Ustadz Abdul Wahab Khalaf membaginya menjadi empat periode yaitu:
pertama, Masa Rasulullah. Kedua, Masa Sahabat. Ketiga, Masa pembukuan fiqh dan
Imam-imam mujtahid. Keempat, masa Taklid.
Di
Indonesia, Ahmad Hanafi M.A., membaginya menjadi lima fase yaitu: pertama, Fase
permulaan hukum Islam. Kedua, fase persiapan hukum Islam. Ketiga, fase
pembinaan dan pembukuan hukum Islam. Keempat, fase kemunduran hukum Islam.
Kelima, fase kebangunan.[4]
Sejalan
dengan perkembangan ilmu fiqh, sistematikanya dibagi kedalam lima periode
yaitu: Pertama, Periode Rasulullah. Kedua, Periode Sahabat. Ketiga, periode
Imam-imam Mujtahid. Keempat, periode kemunduran. Kelima, Periode Kebangunan
kembali.[5]
T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy membagi menjadi enam masa yaitu: pertama, Masa Nabi
Muhammad SAW. Kedua, Masa Khulafa Ar-rasyidin dan Awamiyin. Ketiga, Masa
Abbasiyah dan Mujtahidin, Masa Pembukuan Fiqh. Keempat, Masa Taklid dan Jumud.
Kelima, Masa Gerakan Pembangunan Kembali Fiqh Islam.[6]
Para
ahli membagi sejarah perkembangan Ilmu Fiqh kepada beberapa periode.[7]
Pertama,
periode pertumbuhan, dimulai sejak kebangkitan Nabi Muhammad SAW. Sampai beliau
wafat (12 Rabi’ul Awwal 11H/8 Juni 632 M). Kedua, periode sahabat dan tabiin
mulai dari khalifah pertama (khulafat rasyidin) sampai pada masa Dinasti
Amawiyyin (11H-101H/632M-720M). Ketiga, periode kesempurnaan, yakni periode
Imam-Imam mujtahid besar dirasah Islamiyah pada masa keemasan bani Abbasiyah
yang berlangsung selama 250 tahun (101H-350H/720M-961M). Keempat, periode
kemunduran sebagai akibat taklid dan kebekuan karena hanya mengandalkan
produk-produk ijtihad mujtahid-mujtahid sebelumnya yang dimulai pada
pertengahan abad ke-4 H sampai akhir abad ke-13 H, atau sampai terbitnya buku
al-Majallat al-ahkam al-‘Adliyat tahun 1876 M. Kelima, periode pembanguna
kembali, mulai dari terbitnya buku itu sampai sekarang. Masing-masing periode
diatas dapat dirinci sebagai berikut:
1.
Periode
Pertumbuhan (Masa Rasulullah)
Periode
ini berlansung selama 22 tahun beberapa bulan yang dibagi pada dua masa:
Pertama,
ketika Nabi masih berada dimakkah melakukan dakwah perorangan secara
sembunyi-sembunyi dengan memberikan penekanan kepada aspek tauhid. Kemudian
diikuti dengan dakwah terbuka. Masa itu berlangsung kurang lebih 13 tahun dan
sedikit ayat-ayat hukum yang diturunkan. Hal ini memang wajar, bagaikan
mendirikan sebuah bangunan, fondasinyalah yang dibangunterlebih dahulu, dan
setelah itu bagian lainnya diatas fondasi itu. Begitu pula halnya membangun
manusia beragama, keimanan dan tauhidlah yang perlu ditanamkan terlebih dahulu,
karena itulah dasar dari agama itu sendiri.
Kedua,
sejak Nabi hijrah ke Madinah (16 Juli 622M). Pada masa ini terbentuklah negara
Islam yang dengan sendirinya memerlukan seperangkat aturan hukum untuk mengatur
sistem masyarakat Islam Madinah. Oleh karena itu, sejak masa ini secara
berangsur-angsur wahyu Tuhan mulai berisi hukum-hukum, baik karena sesuatu
peristiwa kemasyarakatan yang memang memerlukan penanganan yuridis dari Nabi,
ataupun karena adanya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat, atau
juga wahyu yang diturunkan oleh Allah tanpa suatu sebab seperti diatas. Pada
masa ini fiqh lebih bersifat praktis dan realis, dalam arti kaum muslimin
mencari hukum dari suatu peristiwa tersebut betul-betul terjadi.
Sumber
hukum pada periode ini adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, baik yang kata-kata dan maknanya langsung dari Allah (Al-Qur’an) maupun
hanya maknanya dari Allah, sedang kata-katanya dari Nabi (hadits).
2.
Periode
Sahabat
Periode
ini bermula tahun 11H (sejak Nabi wafat) sampai akhir abad pertama Hijriyah
(kurang lebih 101 H). Pada masa ini daerah kekuasaan Islam semakin luas,
meliputi beberapa daerah diluar Semenanjung Arabia, seperti Mesir, sria, Irak
dan iran (Persia). Dan, bersamaan denga itu pula agama Islam berkembang dengan
pesat mengikuti perkembangan daerah itu sendiri.
Di
periode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syariat yang
sempurna berusa Al-Qur’an dan hadits Rasul. Hanya tidak semua orang dapat
memahami materi atau kaidah hukum yang terdapat pada kedua sumber itu secara
benar.
Karena,
pertama, baik karena tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama maupun
karena masa atau pergaulan mereka yang tidak memahami sumber tersebut seorang
diri tanpa bantuan orang lain. Kedua, belum tersebar luasnya materi atau
teori-teori hukum itu dikalangan kaum muslimin akibat perluasan daerah seperti
disebut diatas. Ketiga, banyaknya peristiwa hukum baru yang belum pernah
terjadi pada masa Rasullullah yang ketentuan hukumnya secara pasti tidak
ditemukan dalam nash syariat.
Didorong
oleh ketiga hal tersebut diatas, para sahabat utama merasa dituntut untuk
memberikan tantangan segala hal yang perlu dijelaskan, memberi tafsiran
terhadap ayat atau hadis serta memberi fatwa tentang kasus-kasus yang terjadi
pada masa itu, tapi tidak ditemukan ketentuan hukumnya dalam nash dengan
melakukan ijtihad. Oleh karena itu, sumber hukum Islam pada masa sahabat ini
bertambah dengan ijtihad sahabat disamping Al-Qu’an dan Hadits.
Prosedur
penetapan hukum yang ditempuh oleh sahabat pada masa ini adalah melalui
penelusuran mereka terhadap Al-Qur’an dan Hadits. Bila dari kedua sumber ini
tidak ditemukan ketentuan-ketentuan hukum dari suatu kasus yang dihadapi,
mereka berijtihad sendiri, tetapi denga jalan qiyas atau berpedoman kepada
kemaslahatan orang banyak.
Wajar
apabila dikalangan para sahabat dalam melakukan ijtihat terdapat
perbedaan-perbedaan pendapat. Hal ini karena, pertama, kebanyakan ayat Al-Qur’an
dan Hadits bersifat zhanny dari sudut pengertian, kedua, belum termodifikasinya
hadits nabi yang dapat dipedomi secar utuh dan menyeluruh. Ketiga, lingkungn
dan kodisi daerah yang dialami, persoalan-persoalan yang dialami serta dihadapi oleh sahabat-sahabat itu tidak
sama.
Selain
itu, pergolakan politik yang terjadi pada masa Ali Bin Abi Thalib yang
berakibat terpecahnya umat Islam kepada golongan khawarij, Syi’ah, dan
Al-Sunnah juga cukup berpengaruh kepada terjadinya perbedaan pendapat itu.
Kelompok khawarij tidak mau menerima hadis riwayat Usman, Ali, Muawiyah atau
siapa saja yang sealiran dengan tiga sahabat utama tersebut. Tidak hanya
riwayat hadis, tetapi pendapat dan fatwa-fatwa mereka ditolak oleh kelompok
khawarij. Di lain pihak, kelompok Syi’ah menolak hadis-hadis yang diriwayatkan
oleh sahabat-sahabat selain Ali beserta ahl bait dan imam-imam mereka. Dengan
sikap beragama seperti masing-masing kelompok diatas dengan sendirinya
mempunyai aliran hukum dalam Islam. Sedangkan kalangan Ahli Sunnah Wal Jama’ah
dapat menerima semua hadis syahih yang diriwayatkan oleh orang-orang yang
dipercaya tanpa membeda-bedakan dari kelompok mana mereka berasal, kelompok
yang disebut terakhir ini juga bersedia mengambil fatwa atau pendapat sahabat
secar umum.
3.
Periode
Kesempurnaan (Periode Imam-imam Mujtahid)
Periode
ini disebut juga periode pembinaan dan pembukuan hukum Islam. Pada masa ini
Fiqh Islam mengalami kemajuan yang pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum
Islam dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadis-hadis Nabi,
fatwa-fatwa para sahabat dan tabiin, tafsir Al-Qur’an kumpulan pendapat
imam-imam fiqh dan penyusunan ilmu ushul fiqh.
Diantara
faktor yang menyebabkan pesatnya ijtihad pada masa itu adalah karena meluasnya
daerah kekuasaan Islam, mulai dari perbatasan Tiongkokndi sebelah Timur sampai
ke Andalusia (Spanyol), sebelah Barat.
Sudah
barang tentu, perluasan daerah dari suatu negara akan berdampak semakin luas
pada jumlah dan bobot persoalan yang dihadapi, baik menyangkut sosial politik
ketatanegaraan maupun hal-hal yang perlu diselesaikan oleh pemimpin dan para
ulama. Mereka, terutama ulama-ulama, dituntut untuk berfatwa dalam menghadapi
persoalan-persoalan hukum yang freskuensinya selalu bertambah dari masa ke masa. Keadaan ini menentang
mereka untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi berdasarkan
penalaran ilmiah yang intens. Dan, kondisi seperti ini pulalah antara lain yang
menyebabkan lahirnya pemikir-pemikir besar dengan berbagai karya besarnya
masing-masing, seperti Imam Abu Hanafiah dengan salah seorang muridnya yang
terkenal Abu Yusuf (penyusunan kitab ilmu fiqh yang pertama), Imam Malik dengan
kitabnya al-Muwatha’, Imam Syafi’i dengan kitabnya al-Umm atau al-Risalat, Imam
Ahmad dengan kitabnya Musnad, dan beberapa nama lainnya.
Diantara
faktor lain yang menentukan pesatnya perkembangan ilmu fiqh khususnya atau ilmu
pengetahuan pada umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut:
a) Adanya
perhatian pemerintah (khalifah) yang besar terhadap ilmu fiqh khusunya, atau
terhadap ilmu pengetahuan pada umumnya.
b) Adanya
kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-diskusi ilmiah dikalangan
ulama.
c) Telah
terkodefikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an ( pada masa
Khalifah ar Rasyidin), hadis (pada masa Umar bin Abdul Aziz, 99-101H dari
Dinasti Bani Umayyah), tafsir dan ilmu tafsir pada abad pertama hijriyah, yang
dirintis oleh Ibnu Abbas (w. 68 H) dan muridnya, Mujahid (w. 104 H) dan
kitab-kitabnya.
Perlu
dicatat pada masa kecermelengan ilmu pengetahuan, khususnya fiqh, ini terutama
sekali pada jangka waktu 100 tahun pertama berkuasanya Daulat Bani Abbasiyah
(750M-1258M), yang puncaknya terjadi pada masa Khalifah Harun ar-rasyid
(786M-809M), dan Khalifah al-Makmun (813M-833M). Pada masa inilah muncul ilmuan-ilmuan
besardengan berbagai bidang Ilmunya. Khusus di bidang fiqh tercatatlah
nama-nama seperti disebut di atas : Abu Hanifah (699M-767M), Malik (712M-798M),
Syafi’i (767M-820M), Ahmad (782M-856M) dan lain sebagainya. Ahli sejarah
mencatat periode ini sebagai periode peradaban Islam sangat tinggi.
Banyak
Khalifah Bani Abbasiyah yang menaruh perhatiaan besar kepada ilmu fiqh.
Khalifah Al-Mansyur, misalnya, sering memberi hadiah kepada kepada ulama yang
berprestasi dibidang keilmuannya; Khalifah Harun ar-Rasyid menugaskan Yusuf
menyusun kitab fiqh tentang harta kekayaan negara yang ada sumber-sumber
pemasukannya, kemudian mengangkatnya sebagai hakim agung (qhadi al-qhudat).
Dimasa ini juga Imam Malik menyusun karya monumentalnya “al-muwatha”, sebuah
kitab yang dinilai oleh Imam Syafi’i merupakan satu-satunya kitab terbaik
sesudah Al-Qur’an. Kitab ini disusun oleh Imam Malik antara lain atas anjuran
KhalifahAbu Ja’far al-Mansyur (Khalifah kedua Bani Abbas, 754M-775M). Begitu
juga Khalifah al-Makmun yang selalu mendorong ulama untuk mengadakan diskusi
dan ia sendiri sering mengikuti diskusi tersebut.
4.
Periode
Keemunduran (Masa Taklid)
Seperti
telah diterangkan sebelumnya, periode kemunduran ini memakan waktu yang cukup
panjang, yaitu sekitar sembilan setengah abad. Dari pertengah abad Ke 4H-13H.[8]
Pada
periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah akibat berbagai konflim politik dan
beberapa faktor dalam keadaan lemah. Banyak daerah yang melepaskan diri dari
kekuasaanya dan mendirikan kerajaan sendiri-sendiri, seperti kerajaan Bani
Samani di Turkistan (874M-999M), Bani Ikhsyidi di Mesir (935M-1055M) dan
beberapa kerajaan kecil lainnya yang saling berebut kekuasaan.
Pada
umumnya, ulama-ulama yang berada pada masa itu sudah lemah kemauannya untuk
mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagai mana dilakukan oleh para pendahulu.
Merrka merasa puas dengan mengikuti pendapat pendapat yang ada. Sikap seperti
inilah yang mengantarkan dunia Islam ke alam taklid, kaum muslimin terperangkap
kealam pikiran yang jumud dan statis.
Sebenarnya,
sampai pertengahan abad VII H, umat Islam belumlah meninggalkan ijtihad sama
sekali. Mereka berijtihad, tetapi terbatas pada persoalan-persoalan yang tidak
terdapat dalam fiqh mazhabnya, dan dalam berijtihad mereka berpegang kepada
metode yang ditetapkan imam mazhab tersebut. Oleh sebab itu, pada masa sampai pertengahan abad ke VII H
ini masih didapati ulama yang diklasifikasikan sebagai mujtahid muqqayad atau
mujtahid fi al mazhab, berijtihad terkait dengan sistem mazhab tertentu pada
masa ini dalam arti meninggalkan ijtihad mutlak.
Semenjak
pertengahan abad VI samapi akhir periode ini, umat Islam benar-benar berada
dalam suasana taklid, statis, dan jumud. Mereka meninggalkan ijtihad dalam
segala tingkatnya, sehingga perkembangan ilmu fiqh terhenti , statis dan
semakin lama semakin tertinggal jauh dari arus perkembangan zaman. Masa inilah
yang disebut sebagai masa kemunduran.
Faktor-faktor
lain yang mendorong lahirnya sikap taklid dan kemunduran sebagaimana yang telah
disinggung tadi. Faktor-faktor tersebut antara lain:[9]
a. Efek
samping dari pembukuan fiqh pada periode sebelumnya
Dengan
adanya kitab-kitab fiqh yang ditulis oleh ulama-ulama sebelumnya baik untuk
persoalan-persoalan yang benar-benar telah-telah terjadi atau diprediksi akan
terjadi memudahkan umat Islam pada periode ini merujuk semua persoalan hukumnya
kepada kitab-kitab yang ada itu.
Sehingga mematikan kreatifitas dan menumbuhkan sifat malas.
b. Fanatisme
mazhab yang sempit
Murid
atau atau pengikut imam mujtahid terdahulu itu berusaha membela kebenaran
pendapat mazhabnya masing-masing dengan berbagai cara.
c. Pengangkatan
hakim-hakim muqallid
Kehidupan
taklid pada masa ini semakin subur ketika pihak penguasa (khalifah) mengangkat
para hakim dari orang-orang yang bertaklid.
5.
Periode
Kebangunan Kembali
Ahli
sejarah mencatat kemunduran muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir
pada tahun 1798 M. Para raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berfikir bagaimana
meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Gerakan pembaharun ini cukup
berpengaruh pula terhadap perkembangan fiqh. Banyak diantara pembaharuan itu
juga adalah adalah ulama-ulama yang berperan dalam perkembangan fiqh itu
sendiri. Mereka berseru agar meninggalkan taklid dan kembali kepada Al-Qur’an
dan hadis. Mereka inilah yang disebut golongan salaf, seperti Muhammad Bin
Abdul Wahab (1791M-1787M), di Saudi Arabia, Muhammad Al-Sanusi (1791-1859M), di
Libya dan Maroko, Jamal Al-Din Al-Afgani (1839M-1897M), Muhammad Abduh
(1849M-1906M), Muhammad Rasyid Rida ( 1865M-1935M) di Mesir. Dll.
Sebenarnya,
usaha kearah pembaharuan telah diawali oleh Ibnu Taimiyah, pada awal abad ke
VII H. Tokoh yang terlahir di Harran, Syiria, 12 Januari 1236 M (10 Rabiul
Awwal 661 H) dan terkenal sebagai tokoh yang sangat keras menentang ketidak
benaran dalam praktek keagamaan umat Islam ini, telah meresmikan perang
terhadap taklid diperalihan abad ke 13 dan 14 M. Usaha ini kemudian membuat
dijuluki umat Islam sebagai “bapak tajdid” dalam Islam, bapak yang menggerakkan
umatnya agar keluar dari kungkungan mazhab-mazhab dan mulai memperbaharui
sistem-sitem berfikir, membangun kembali hukum Islam sesuai dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Al-Kitab dan Sunnah Rasul. Gerakan Ibnu Taimiyyah inilah
yang kemudian ditindaklajuti oleh tokoh-tokoh Islam seperti Muhammad bin Abdul
Wahab, Muhammad Abduh, dsb, membangun kembali pemikiran keagamaan dalam Islam,
termasuk bidang fiqh. Diantara tanda-tanda kebangunan fiqh Islam tersebut dapat
dilihat pada periode ini. Umat Islam telah memulai mempelajari fiqh melalui
cara perbandingan. Pengaruh seruan untuk meninggalkan taklid, antara lain,
terlihat pada penyusunan perundang-undangan suatu negara yang tidak lagi hanya
terpaud kepada mazhab tertentu, yaitu seperti di Turki Usmani dan Mesir.
Sebagaimana
disebutkan pada halaman terdahulu, periode kebangunan ini, antara lain,
ditandai dengan disusunnya kitab Majllat al-Ahkam al-‘Adliyyat di akhir abad
ke-13 H, mulai 1285 H-1293H (1869M-1876M). Kitab ini disusun atas dasar
keinginan pemerintah kerajaan Turki Usmani untuk menyusun fiqh dalam bentuk
undang-undang yang diberlakukan di negaranya. Untuk maksud ini, dibentuklah
suatu panitia beranggotakan tujuh orang dan diketuai oleh Ahmad Jaudat. Kitab
ini merupakan kitab undang-undang hukum perdata dan diberlakukan
sebagaiundang-undang pemerintah Turki Usmani pada tahun 1876 M. Untuk itu, pemerintah Turki Usmani menetapkan
Undang-undang Hukum Keluarga tersendiri pada tahun 1326 (1918M).
Sungguhpun
kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyat ini bercorak mazhab Hanafi, tapi tidak
berarti harus terkait kepada mazhab itu. Dalam persoalan-persoalan tertentu
diambil dari mazhab yang berbeda, seperti mengenai pengampunan dan barang yang
dirampas ketentuan hukumnya diambil dari mazhab Syafi’i dan , kewenangan
transaksi jual beli bersyarat diambil dari mazhab Ibnu Syubrumah. Begitu pula
pemerintah Mesir, yang semula mengikuti mazhab Hanafi, pada tahun 1920
mengeluarkan undang-undang tentang hukum keluarga yang mengambil hukumnya tidal
lagi terbatas pada mazhab Hanafi tetapi pada mazhab empat. Pada tahun 1929M,
pemerintahan Mesir mengeluarkan undang-undang baru yang berisi pembatalan
terhadap beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang-undang keluarga
terdahulu, dan tidak lagi terbatas pada mazhab tertentu melainkan juga dari
mazhab lain yang sesuai dengan kemaslahatan orang banyak.
Tanda-tanda
kemajuan dapat terlihat diberbagai bidang, diantaranya: Dibidang
perundang-undangan, di bidang pendidikan, di bidang penulisan buku-buku dalam
Bahasa Indonesia dan penerjemahan.[10]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu Fiqh berkembang
secara terus menerus dari suatu masa ke masa yang akan datang dan juga pada
masa tersebut berbeda-beda sejarah pertumbuhannya. Mulai dari masa Rasul sampai
sekarang ini. Periode-periode tersebut dapat dikelompokan menjadi lima masa
atau periode, yaitu:
1.
Periode
Pertumbuhan (Masa Rasulullah)
2.
Periode Sahabat
3.
Periode
Kesempurnaan (Periode Imam-Imam Mujtahid)
4.
Periode
Kemunduran (Periode Taklim)
5. Periode
Kebangkitan Kembali
Periode-periode
tersebut menggambarkan keadaan yang cukup jelas dalam pertumbuhan Ilmu Fiqh.
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa pertumbuhan Ilmu Fiqh tidak semudah yang di
bayangkan selama ini.
B.
Kritik
& Saran
Didalam pembuatan maka ini sungguh
penilisan masih jauh dari kesempurnaan. Karena, masih banyak
kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam pembuatan makalah ini. Sehingga
penulis sangat memerlukan kritik dan saran yang membangun untuk pemnyusunan
makalah selanjutnya.
[1] Alaiddin
Koto. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh.
Jakarta: Rajawali Pers. 2011. Hlm, 8
[2] T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy. Pengantar Ilmu Fiqh.
Jakarta: CV. Mulya. 1967. Hlm, 8-9.
[3] Muh.
Zuhri. HUKUM ISLAM DALAM LINTAS SEJARAH.
Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada. 1996. Hlm,7-8
[4] A.
Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam.
Jakarta: Bulan Bintang. 2002. Hlm, 154
[5] H.A.
Djazuli. ILMU FIQH : Penggalian,
Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta. Kencana. 2006. Hlm,
139-140.
[6] Ibid., hlm, 32
[7] Ibid., hlm, 13
[8] Ibid., hlm,155
[9] Ibid., 18
[10]Ibid., hlm, 159
DAFTAR
PUSTAKA
Djazuli,
H.A. 2006. ILMU FIQH : Penggalian,
Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana.
Hanafi, A. 2002. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam.
Jakarta: Bulan Bintang. 2002.
Koto, Alaiddin. 2011. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali
Pers.
T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy. 1967. Pengantar Ilmu Fiqh.
Jakarta: CV. Mulya.
Zuhri,
Muh.1996 HUKUM ISLAM DALAM LINTAS SEJARAH.
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar