HADIS
EKONOMI
“Persepsi
Muslim Yang Keliru Terhadap Kerja”
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hadits
Ekonomi
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Enizar, M.Ag.
Disusun
Oleh :
Hero
Tamo 13103054
Program Studi : Ekonomi Syariah
Jurusan : Ekonomi Syariah
Kelas : C
Semester: III
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI
SIWO METRO
2014
Kata Pengantar
Segala Puji bagi Allah SWT,yang telah menurunkan Al-Qur’an untuk
dijadikan pedoman hidup manusia baik di dunia sampai akhirat kelak. Shalawat
serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw., kepada keluarga,
sahabat, dan para pengikutnya.
Ucapan terimakasih kepada Allah Swt, dimana atas izin dan rahmatnya
makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penyusunan makalah ini
sehubungan untuk memenuhi tugas mandiri hadits ekonomi yang berjudul “Persepsi
Muslim Yang Keliru Terhadap Kerja” .
Didalam pandangan muslim tak jarang menganggap pekerjaan itu
hanyalah urusan duniawi saja dan tidak ada hubungannya dengan amalan dan ibadah
yang akan kita bawa menuju akhirat.
Oleh sebab itu makalah ini akan menjelaskan permasalahan tersebut.
Karena, di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasul banyak yang mengatakan
bekerja bukan hanya urusan duniawi saja tetapi pekerjaan itu bisa ternilai
ibadah apabila di kerjakan dengan tanggung jawab dan hanya mengharap ridha dari
Allah Swt.
Metro, 28 Oktober 2014
Hero Tamo
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar isi
BAB I:
1.1.Pendahuluan
1.2.Latar Belakang
1.3.Rumusan Masalah
BAB II:
Pembahasan
A.
Persepsi
Muslim Yang Keliru Terhadap Kerja............................ 1
B.
Aspek-Aspek
Etos (Etika) Kerja.................................................
3
C.
Bekerja
Dalam Perspektif Islam.................................................. 6
D.
Hadits-Hadits Tentang Etos Kerja Islama ................................. 9
E.
Karakteristik Kerja...................................................................... 10
F.
Etos Kerja Tinggi Dalam Islam................................................... 13
BAB III
Penutup
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
END NOTE
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bekerja
merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan didalam agama Islam, dimana itu semua
dilakukan oleh semua manusia untuk memenuhi kehidupannya di dunia ini. Seperti
dalam QS Al-Nahl [16]: 14 Allah berfirman:
“Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan
(untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan
kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat
bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari
karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.”
Tetapi,
yang terjadi di dalam masyarakat umum, pekerjaan hanyalah suatu proses yang
hanya bermanfaat untuk duniawi saja. Kesalahan dalam paradigma yang berkembang
di dalam masyarakat inilah yang menimbulkan permasalahan dalam persepsi seorang
muslim tentang pekerjaan yang dia lakukan. Banyak manusia yang menghalalkan
segala cara demi memenuhi kebutuhannya. Kesalahan ini dapat kita lihat pada
kehidupan bermasyarakat dalam dunia kehidupan, bagi mereka pekerjaan sekarang
ini hanyalah untuk keperluan duniawi saja. Inilah permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Berangkat
dari latar belakang di atas saya membatasi pembahasan dalam makalah ini,
sebagai berikut:
1.
Apa
pandangan Islam tentang bekerja?
2.
Bekerja
seperti apa yang Islam anjurkan beserta tujuannya?
C.
Tujuan
Dari rumusan
masalah di atas, maka tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk:
1.
Memahami
pandangan Islam tentang bekerja.
2.
Memahami
anjuran bekerja dalam pandangan Islam beserta tujuan dari pekerjaan tersebut.
PEMBAHASAN
A.
Persepsi Islam (Muslim) Yang Keliru Terhadap Kerja
Persepsi merupakan suatu penilaian
atau memaknai suatu hal yang pada akhirnya dapat di pastikan maksud dan tujuan
dari masalah yang dijadikan pokok pemikiran persepsi tersebut. Jadi persepsi
adalah suatu proses yang masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia,
melalui persepsi tersebut manusia terus-menerus melakukan hubungan dengan
lingkungan yang mencakup ruanglingkup dari dasar pemikiran persepsi tersebut. [i]
Bekerja dalam pandangan Islam bukan
hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga merupakan suatu kewajiban
agama, sehingga perlu diperhatikan cara dan proses kerja yang akan membawa
konsekuensi terhadap hasil. Dalam bahasan yang akan datang akan dikemukakan
beberapa aturan yang harus diperhatikan dalam bekerja. Bekerja untuk
kebahagiaan di bumi dan di akhirat seperti dalam Al-Qur’an Qs. Al-Qashah: “carilah
kebahagiaan akhirat namun jangan melupakan kenikmatan duniawi.”[ii]
Dalam kenyataannya, sering terjadi
kesalahan dalam memahami aturan Islam, yang menganggap bekerja hanya urusan
duniawi saja dan tidak memiliki dimensi ibadah, namun, jika diperhatikan posisi
bekerja dalam Al-Qur’an terlihat adanya dimensi ibadah atau pelaksanaan
perintah Allah, seperti dalam hadits Rasul:
عَنْ أَبيِ مَسعُوْدٍ الانْصَارِيَّ فَقُاتُ
عَنِ النَّبِي فَقَالَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
اِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا كَا
نَتْ لَهُ صَدَقَةً
“Dari Abu Mas’ud
al-Anshari, dari Rasulullah Saw. Beliau bersabda: apabila Muslim memberikan
nafkah kepada keluarganya dan ia ikhlas maka di hitung sebagai sedekah.”
Dalam melaksanakan kehidupan
sehari-hari, manusia harus memenuhi beberapa kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan
primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan primer merupakan kebutuhan mendasar
yang sangat diperlukan oleh manusia seperti sandang, pangan dan papan. Untuk
mendapatkan semua itu harus berusaha. Banyak usaha atau pekerjaan yang dapat
dilakukan oleh seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut.
Manusia diciptakan oleh Allah swt,
sebagai khalifah di muka bumi yang bertugas memakmurkan bumi ini, dengan cara
mengolah dan memanfaatkan sumber daya yang telah disediakan oleh Allah untuk
manusia. Semua itu disiapkan Allah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan
demikian bawasanya manusia tersebut haruslah berusaha. Penciptaan manusia
sebagai khalifah di jelaskan dalan Al-Qur’an:
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “sesungguhnya aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “mengapa engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
membuat pertumpahan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfitman: “sesungguhnya aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui.”[iii]
Dewasa ini tidak mampu kita pungkiri
lagi, bekerja merupakan kepeluan yang sangat penting untuk menunjang kehidupan
di dunia ini. Banyak sekali macam pekerjaan yang masyarakat lakukan dari
pekerjaan yang berlevelkan pejabat hingga pekerjaan yang berlevelkan bawahan
bahkan buruh biasa. Bekerja yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dunia, kini
berubah fungsi menjadi penimbunan kekayaan.
Cara yang ditempuhpun
bermacam-macam, ada yang menggunakan atau mengharapkan keridhaan Allah swt
bahkan ada yang tanpa memikirkan proses yang mereka lakukan. Memang tidak bisa
kita pukul rata dengan mengatakan bahwa semua upaya yang dilakukan adalah
bernilai salah jika dipandang dari kaca mata Islam. Tapi, banyak manusia yang
bekerja berorientasi pada keuntungan semata. Tidak lagi menyadari hakikat
penciptaan manusia untuk beribadah kepada Allah.
Dengan kata-kata yang biasanya
dirinya sendiri, setiap orang yang bekerja pasti menginginkan keuntungan.
Memang benar, kita tidak akan memenuhi kebutuhan jika tidak mengambil
keuntungan. Tapi kita tidak akan masuk surga tanpa berkah dari Allah.
Keuntungan boleh saja kita dapatkan, dengan catatan keuntungan yang didapat
oleh penjual haruslah normal, dan pembeli mampu mendapatkan manfaat sesuai
dengan harga yang telah dibayarkan
Dalam pengertian ini, etika
berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun
pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan
dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan
segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain
atau dari satu generasi ke generasi yang lain. Kebiasaan ini lalu terungkap
dalam perilaku berpola yang terus berulang sebagai sebuah kebiasaan.
B.
Aspek-Aspek Etos (Etika) Kerja
Dari ratusan
teori sukses yang beredar di masyarakat sekarang ini, Sinamo (2005)
menyederhanakannya menjadi empat pilar teori utama. Keempat pilar inilah yang
sesungguhnya bertanggung jawab menopang semua jenis dan sistem keberhasilan
yang berkelanjutan (sustainable success system) pada semua tingkatan.
Keempat elemen itu lalu dikonstruksikan dalam sebuah konsep besar yang
disebutnya sebagai Catur Dharma Mahardika (bahasa Sansekerta) yang berarti
Empat Darma Keberhasilan Utama, yaitu:
1.
Mencetak prestasi dengan motivasi superior.
2.
Membangun masa depan dengan kepemimpinan
visioner.
3.
Menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif.
4.
Meningkatkan mutu dengan keunggulan insani.
Keempat darma
ini kemudian dirumuskan menjadi delapan aspek etos kerja sebagai berikut:
1.
Kerja adalah rahmat. Apa pun pekerjaan kita,
entah pengusaha, pegawai kantor, sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat
dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup
oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun.
2.
Kerja adalah amanah. Kerja merupakan titipan
berharga yang dipercayakan pada kita sehingga secara moral kita harus bekerja
dengan benar dan penuh tanggung jawab. Etos ini membuat kita bisa bekerja
sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai
bentuknya.
3.
Kerja adalah panggilan. Kerja merupakan suatu
darma yang sesuai dengan panggilan jiwa sehingga kita mampu bekerja dengan
penuh integritas. Jadi, jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan,
kita bisa berucap pada diri sendiri, “I’m doing my best!”. Dengan begitu
kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya.
4.
Kerja adalah aktualisasi. Pekerjaan adalah
sarana bagi kita untuk mencapai hakikat manusia yang tertinggi, sehingga kita
akan bekerja keras dengan penuh semangat. Apa pun pekerjaan kita, entah dokter,
akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat
kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi
diri dan membuat kita merasa “ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih
menyenangkan daripada duduk termenung tanpa pekerjaan.
5.
Kerja adalah ibadah. Bekerja merupakan bentuk
bakti dan ketakwaan kepada Tuhan, sehingga melalui pekerjaan manusia
mengarahkan dirinya pada tujuan agung Sang Pencipta dalam pengabdian. Kesadaran
ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi
mencari uang atau jabatan semata.
6.
Kerja adalah seni. Kesadaran ini akan membuat
kita bekerja dengan perasaan senang seperti halnya melakukan hobi. Sinamo
mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku,
rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah
karena dia bisa menikmati pekerjaannya.
7.
Kerja adalah kehormatan. Seremeh apa pun
pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan
dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita.
Sinamo mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia
kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang
serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, semua
novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.
8.
Kerja adalah pelayanan. Manusia bekerja bukan
hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja tetapi untuk melayani, sehingga
harus bekerja dengan sempurna dan penuh kerendahan hati. Apa pun pekerjaan
kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercusuar, semuanya bisa dimaknai
sebagai pengabdian kepada sesama.
Anoraga (2009)
juga memaparkan secara eksplisit beberapa sikap yang seharusnya mendasari
seseorang dalam memberi nilai pada kerja, yang disimpulkan sebagai berikut:
1.
Bekerja adalah hakikat kehidupan manusia.
2.
Bekerja adalah suatu berkat Tuhan.
3.
Bekerja merupakan sumber penghasilan yang halal dan tidak amoral.
4. Bekerja
merupakan suatu kesempatan untuk mengembangkan diri
5.
Bekerja merupakan sarana pelayanan dan perwujudan kasih
Dalam
tulisannya, Kusnan (2004) menyimpulkan pemahaman bahwa etos kerja mencerminkan
suatu sikap yang memiliki dua alternatif, positif dan negatif. Suatu individu
atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi
apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:
1. Mempunyai
penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia,
2. Kerja sebagai
suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia,
3. Kerja dirasakan
sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan
4. Kerja
dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan
5. Kerja
dilakukan sebagai bentuk ibadah.
Bagi individu
atau kelompok masyarakat yang memiliki etos kerja yang rendah, maka akan
ditunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya (Kusnan, 2004), yaitu :
1. Kerja
dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri,
2. Kurang
dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,
3. Kerja
dipandang sebagai penghambat dalam memperoleh kesenangan,
4. Kerja
dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,
5. Kerja
dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.
Dari berbagai
aspek yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang
memiliki etos kerja tinggi akan terus berusaha untuk memperbaiki dirinya,
sehingga nilai pekerjaannya bukan hanya bersifat produktif materialistik tapi
juga melibatkan kepuasaan spiritualitas dan emosional.
.
C.
Bekerja Dalam Perspektif Islam
Manusia tidak bisa dilepaskan dari
pekerjaan. Manusia diciptakan oleh Allah swt, bukan hanya sebagai hiasan
pekerjaan, tetapi juga sebagai suatu ciptaan yang diberi amanah, dan salah satu
tugasnya ialah memelihara ciptaan ini dengan pekerjaannya sebagai seorang
khalifah di muka bumi ini. Dengan demikian kerja merupakan tugas Ilahi yang
mengandung kewajiban dan hak. Kerja sebagai suatu upaya untuk merubah kehidupan
manusia, maka manusia dituntut untuk memiliki etos kerja yang tinggi dalam
kehidupannya, karena mustahil bila kita tidak bekerja akan mendapatkan hidup
yang layak
Sangat baik menjaga amanah kepada
Allah. Namun, tidak berarti manusia tidak berusaha mencari nafkah yang halal.
Al-Qur’an menjelaskan:
“Dialah yang
menjadikan bumi untuk mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya
dan makanlah sebagian dari rezekinya, dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan.[iv]
Ayat di atas menjelaskan bahwa bumi
ini diciptakan oleh Allah, dan manusia dituntut untuk mencari rezeki didalamnya
dengan usaha keras, sehingga manusia dapat mengeruk hasil yang luar biasa
besarnya. Dalam pada itu, manusia boleh mengambil hasil bumi, hasil tambang,
untuk mendapatkan keuintungan. Akan tetapi, ini semua membutuhkan usaha keras
manusia. Jika hanya duduk termenung berpangku tangan tanpa usaha hanya berserah
diri kepada Allah swt, tidak akan memdapatkan hasil yang luar biasa dan
kekayaan sumber daya mineral yang maha dahsyat itu. Sama halnya, seseorang
semata-mata menggantungkan kepada derma orang lain. Dia dapat melakukan hal
yang terakhir ini jika memang sudah tidak dapat berusaha lagi untuk dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.[v]
Didalam petunjuk Rasulullah saw,
aktivitas ekonomi yang bai adalah aktivitas produksi. Dalam ekonomi kacamata
Islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa disebut sebagai
aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat terkait erat dengan
halal-haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya. Dengan kata lain,
aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut
sebagai aktivitas produksi.
Ada beberapa contoh perilaku
masyarakat yang kurang produktif akibat dari pemahaman yang kurang tepat
terhadap ajaran agama. Seperti adanya suatu kecenderungan di sebagian umat
Islam yang bersikap pasrah atau menyerah kepada nasib. Hal ini barangkali ada
hubungannya dengan suatu aliran teologi Jabariah yang percaya bahwa semua
tindakan dan perilaku manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Begitu juga
pemahaman zuhud yang menimbulkan satu sikap hidup yang kurang menghargai sesuatu
yang bersifat material dan cenderung orientasinya hanya ke akhirat saja dan
tidak peduli kepada hal-hal yang bersifat duniawi dan kemajuan-kemajuan
ekonomi.
Tidak terlepas dari itu semua,
harusnya kita sadari hakikat penciptaan manusia di dunia ini menjadi khalifah
adalah untuk beribadah. Dalam setiap tindak-tanduk yang dilakukan bertujuan
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Begitupun dalam rangka memenuhi kebutuhan.
Manusia bertugas memakmurkan bumi ini, dengan cara mengelola dan menggunakan
sumber daya alam yang telah diberikan Allah kepada dan untuk manusia.
Di dalam Al-Qur’an, perintah untuk
bekerja disebutkan secara beriringan dengan perintah melaksanakan shalat.
Dengan kata lain manusia haruslah berusaha untuk memenuhi kebutuhan, tidak
hanya melaksanakan rutinitas ibadah dalam bentuk shalat, tapi juga harus bisa
meletakkan suatu aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sebagai suatu
ibadah kepada Allah. Misalnya dalam QS Al-Jumu’ah [62]: 10:
فاذا قضيت الصلا
فانتشروا في الأرض وابتغوا من فضل اللّه واذكروااللّه كثيرا لعاكم تفلحون
“Kalau anda
telah selesai melaksanakan shalat, keluarlah dimana saja dibumi Allah ini untuk
mencari rezeki dan karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak aggar kamu
beruntung”.
Dalam ayat ini dapat dipahami bahwa
orang yang beriman itu adalah orang yang setelah melaksanakan tugasnya sebagai
hamba Allah (menjaga hubungan vertikal), ia harus bekerja keras, dan tidak
malas. Agar sukses dan tetap dalam koridor yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya,
Allah mengingatkan agar dalam bekerja manusia harus selalu banyak mengingat
Allah, sehingga tetap terjaga dalam usaha yang dibenarkan Allah, dan tidak
merugikan orang lain.
Perlu disadari bahwa seorang muslim
bekerja tidaklah hanya sekedar untuk mendapat gaji, pangkat atau hanya sekedar
menjaga gengsi agar tidak disebut sebagai pengangguran. Karena kesadaran
bekerja yang produktif akan melahirkan semangat dan tanggung jawab yang
merupakan ciri khas dan karakter kepribadian seorang muslim.
Orang-orang muslim dituntun mencari
nafkah yang halal disepanjang hidup mereka dan semata-mata tidak tergantung
kepada derma. Orang yang memberi adalah orang yang lebih baik daripada
menerima. Jadi orang Islam tidak harus mengasingkan diri ke hutan atau biara
melepaskan tanggung jawabnya terhadap istri dan anak-anaknya. Al-Qur’an telah
menjelaskan.
“Dan bahwasanya
seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan
bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)”.[vi]
Kemuliaan seorang muslim itu bergantung
kepada apa yang dilakukannya. Dengan itu, sesuatu amalan atau pekerjaan yang
mendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk
diberi perhatian. Amalan atau pekerjaan yang demikian selain memperoleh
keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu merupakan
jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di akherat kelak.
D.
Hadis-Hadis
Tentang Etos Kerja Islam
عن أنس رضي اللّه عنه قال : كان رسول اللّه ص.م. يقول: اللهمّ أعوذبك من
العجز والكسل والجبن واعو ذبك من عذاب القبروفتنة المحياو المماات. (روه
مسلم)
Artinya:
“Dari Anas ra. Berkata: Rasulullah saw bersabda: Ya Allah sesungguhnya
aku ini berlindung kepada-Mu (agar terhindar) dari sifat-sifat lemah malas dan
penakut, dan aku berlindung pula kepada-Mu dari siksa kubur, ujian hidup dan
mati.”
Penjelasan Hadits:
Hadits diatas berisi tentang do’a agar kita semua di jauhkan dari sifat
lemah, malas, serta penakut, serta do’a minta dijauhkan dari siksa kubur dan
ujian di dunia maupun di akhirat. Dan sebagai konsekuensinya maka kita harus
berusaha sekeras mungkin untuk menghilangkan sifat-sifat buruk kita dan
melakukan kegiatan yang positif.
Sifat lemah disini adalah meliputi lemah fisik dan mental. Jika fisik
lemah maka tidak mampu berusaha secara maksimal dan optimal. Sementara lemah
mental menyebabkan seseorang tidak dapat berfikir dengan baik dan akan
menyebabkan kebodohan.
Ujian dari manusia dari Allah yang berupa ujian kebaikan, seperti harta,
jabatan, anak dan kesehatan. Sedangkan ujian yang sedikit kearah yang kurang
baik, seperti kecelakaan dan musibah lainnya.
Karakteristik
etos kerja Islam di sini digali dan dirumuskan berdasarkan konsep iman dan amal
saleh, karena etos kerja menurut pemahaman qur’ani tidak dapat menjadi
islami bila tidak dilandasi oleh iman dan amal saleh. Suatu kerja atau
perbuatan, meski secara nyata memberikan manfaat bersifat keduniaan kepada
orang lain, namun tanpa disertai iman pelakunya, kerja itu tidak akan
membuahkan pahala di akherat kelak. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an. “Dan
orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya
air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan)
Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan
cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.”[vii]
Dari pada itu
masih terdapat satu unsur lagi yang bersama iman dan amal saleh dalam membentuk
tiga pola kehidupan yang kokoh dan benar, yaitu keilmuan. Ilmu ternyata menjadi
landasan sekaligus jembatan yang harus ada bagi iman dan amal saleh. Tiap-tiap
ajaran Islam dapat diamalkan secara benar dan baik hanya bila didukung oleh
pengetahuan atau ilmu tentang ajaran itu. Dengan demikian menurut perspektif
Islam, iman, ilmu dan amal merupakan rangkaian yang saling menyempurnakan, dan
dapat digali darinya mengenai etos kerja Islam.
E.
Karekteristik
Kerja
1. Kerja
merupakan penjabaran aqidah
Sehubungan
dengan kerja, aqidah dan ajaran Islam adalah menjadi sumber nilai dan sumber
ilmu, di samping sebagai sumber motivasi. Sebagai sumber nilai islam menetapkan
norma-norma yang terkait dengan kerja. Sangat banyak pekerjaan yang
diperkenankan dalam Islam, namun ada pula pekerjaan-pekerjaan tertentu yang
dilarang seperti mencuri, berjudi, riba, mengurangi timbangan dan
pekerjaan-pekerjaan lain yang mengandung kezaliman. Sehingga dari itu dapat
dikembangkan menjadi nilai/etika kerja islami.[ix]
Sejarah telah
membuktikan bahwa aqidah Islam berpotensi
besar sebagai sumber motivasi yang mampu mengubah serta membangun sikap hidup
mendasar, karakter, serta kebiasaan perilaku manusia. Berawal dari keyakinan
aqidah dan doktrin tentang adanya kehidupan akhirat, maka kerja dalam Islam
tidak hanya berorientasi duniawi, namun nilai ibadah di sisi Allah juga harus
diperhatikan untuk kepantingan akhirat manusia. Oleh karena itu, dalam bekerja harus ada motivasi/niat ke arah itu,
seperti dengan bertujuan mendapatkan ridha Allah Swt. Inilah nilai karakteristik (ciri khas) dalam etos
kerja Islam. Salah satu bentuk penjabaran motivasi amal
saleh dan kerja islami, Rasulullah Saw. mengemukakan hadis yang masyhur tentang
permasalahan niat.
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ سَمِعْتُ يَحْيَى
بْنَ سَعِيدٍ يَقُولُ أَخْبَرَنِى مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَنَّهُ سَمِعَ
عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِىَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
رضى الله عنه يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِصلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ) إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا
لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى
دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا
هَاجَرَ إِلَيْه[x]
Dari hadis
tersebut dapat ditangkap suatu pengertian bahwa begitu menentukan dan besarnya
peranan niat dalam amal islami, karena motivasi kegiatan dan kerja adalah dalam
rangka ibadah, tidak boleh salah alamat, dan harus ikhlas lillahi
ta’ala. Hal ini didasari keyakinan bahwa kerja atau perbuatan positif
apapun, yang pada mulanya bernilai sekuler atau duniawi belaka dapat berubah
menjadi bernilai ibadah jika didasari niat, motivasi atau komitmen ibadah.
Sehingga karakteristik inilah yang menjadi pembeda etos kerja islami dengan
etos kerja lainnya.
2. Kerja
Dilandasi Ilmu
Kerja yang
dilandasi iman memang amat penting, agar tekendali oleh tujuan yang luhur.
Begitu juga dengan ilmu, tanpanya kerja akan salah arah dan tergelincir, karena
dilandasi pemahaman yang tidak proporsional. Dengan ilmu, orang dituntut
bekerja dengan rasional, ilmiah, proaktif, kreatif, baik, teratur, profesional,
disiplin dan sikap-sikap baik lainya yang merupakan penunjang keberhasilan
kerja. Kerja tanpa ilmu dan berlawanan dengan sikap tersebut sangat dilarang
oleh Islam, bahkan kehancuran akan diperoleh jika melakukan sesuatu tanpa ilmu,
seperti disinyalir oleh hadis Nabi Saw.:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ قَالَ
حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ وَحَدَّثَنِى إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحٍ قَالَ حَدَّثَنِى أَبِى قَالَ حَدَّثَنِى هِلاَلُ بْنُ
عَلِىٍّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا
النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم فِى مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ
أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم يُحَدِّثُ، فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ سَمِعَ مَا قَالَ، فَكَرِهَ مَا قَالَ،
وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ لَمْ يَسْمَعْ، حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ
(أَيْنَ أَرَاهُ السَّائِلَ عَنِ السَّاعَةِ). قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ . قَالَ:(فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ) .
قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ (إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ
أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ)[xi]
3. Kerja dengan meneladani sifat-sifat ilahi
serta mengikuti petunjuknya.
Banyak
sifat-sifat manusia yang mempunyai nama, sebutan dan indikasi yang serupa
dengan Asma’ al-Husna atau sifat-sifat Allah. Namun demikian tentu saja dalam
bentuk serta kualitas yang sangat jauh berbeda, sesuai dengan firman
Allah, “...tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.” [xii]
Sebagai contoh,
Allah memiliki sifat Maha Sempurna, maka jika kita kaitkan dengan etos kerja,
manusia diharapkan bisa mengembangkan aktivitas kerja dan prestasinya sampai
kepada tingkat tertinggi menurut ukuran manusiawi, kalau dia berusaha dengan
sungguh-sungguh. Hal ini menunjukkan dorongan agar manusia selalu berusaha
semaksimal mungkin untuk keberhasilan hidup.
Berdasarkan
pembahasan tentang tiga karakteristik etos kerja islami tersebut, ternyata
menimbulkan ciri-ciri yang dalam batas-batas tertentu serupa dengan
karakteristik-karakteristik etos kerja tinggi pada umumnya. Dari karakteristik
pertama ditemukan sikap hidup mendasar yang menjadi sumber motivasi etos kerja
islami, karena pada umumnya setiap tindakan pasti terdapat motif sebelumnya.
Dari karakteristik kedua ditemukan implikasi dalam kerja yaitu sikap kerja yang
harus profesional, objektif, rasional, disiplin, teratur, ilmiah dan adanya
perencanaan yang matang. Dan dari karakteristik ketiga ditemukan indikasi yang
serupa dengan karakteristik etos kerja tinggi umumnya, yaitu dengan meneladani
sifat-sifat ilahi dapat digali sikap kerja aktif, kreatif, tekun, konsekuen,
berusaha, percaya diri dan mandiri.
F.
Etos Kerja Tinggi Dalam Islam
Berikut ini
beberapa sikap etos kerja tinggi dalam Islam, yang bersumber pada hadis Nabi
Saw. yang terkadang secara tekstual tidak spesifik mengarah kepada konteks
perilaku kerja, tetapi jika kita kaitkan dengan makna yang terkandung di
dalamnya, maka bisa mendorong kepada kemajuan dan keberhasilan dalam kerja. Dan
pada dasarnya sikap etos kerja tidak hanya terbatas dalam beberapa sikap ini
saja, masih banyak sikap lain yang perlu diperhatikan, yang intinya adalah
sikap yang mengantarkan kepada keberhasilan dan prestasi yang tinggi dalam
dunia kerja, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum Islam. Dan dalam
batas-batas tertentu, ciri-ciri etos kerja islami dan ciri-ciri etos kerja
tinggi pada umumnya banyak keserupaannya, utamanya pada dataran lahiriahnya.
Ciri-ciri tersebut antara lain :
1. Baik
dan Bermanfaat
Islam hanya
memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi
kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat
derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. Sebagaimana Nabi Saw.
mengajarkan untuk menjadi yang terbaik bagi umat :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن عَبْدِ الرَّحِيمِ
الشَّافِعِيُّ الْحِمْصِيُّ حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بن هَاشِمٍ السِّمْسَارُ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بن قَيْسٍ الضَّبِّيُّ حَدَّثَنَا سُكَيْنُ بن
أَبِي سِرَاجٍ حَدَّثَنَا عَمْرُو بن دِينَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلا
جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ وَأَيُّ الأَعْمَالِ أَحَبُّ
إِلَى اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:(أَحَبُّ
النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ، وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ
إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ، أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ
كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا، وَلأَنْ
أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا
الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا، وَمَنَ كَفَّ غَضَبَهُ سَتَرَ
اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ
أَمْضَاهُ مَلأَ اللَّهُ قَلْبَهُ رَجَاءً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ مَشَى مَعَ
أَخِيهِ فِي حَاجَةٍ حَتَّى يَتَهَيَّأَ لَهُ أَثْبَتَ اللَّهُ قَدَمَهُ يَوْمَ
تَزُولُ الأَقْدَامِ.[xiii]
Ini adalah
pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Pekerjaan
yang standar adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara
material dan moral-spiritual. Ciri utama dari orang-orang mukmin yang berhasil
dalam hidupnya adalah kemampuannya produktif dan melahirkan amalan-amalan yang
bermanfaat.
2. Kemantapan
Kualitas kerja yang mantap atau perfect merupakan
sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan
yang islami yang berarti pekerjaan mencapai standar ideal secara teknis.
Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang
optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau
mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih.
حدثنا أحمد قال حدثنا مصعب قال حدثنا بشر بن
السري عن مصعب بن ثابت عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أن رسول الله قال : (إِنَّ
اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ.) [xiv]
Sikap ini
muncul karena dilandasi adanya profesionalitas kerja, yang diistilahkan oleh
sebagian orang dengan fathanah, karena mengidentikan dengan
kepribadian yang dimiliki Nabi Saw. sebagai teladan dalam permasalahan umat
Islam. Fathanah artinya mengerti, memahami dan menghayati
secara mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya, baik yang
berhubungan dengan ilmu, peraturan, informasi perusahaan dan pekerjaan.
3. Kerja Keras, Tekun
dan Kreatif.
Kerja keras,
yang dalam Islam diistilahkan dengan mujahadah dalam maknanya
yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil
wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam
merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi
serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan
fasilitas segala sumber daya yang diperlukan, tinggal peran manusia sendiri
dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka
melaksanakan apa yang Allah ridhai.
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْوَارِثِ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضى
الله عنه قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَتَعَوَّذُ
يَقُولُ (اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ
الْجُبْنِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَرَمِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ.)[xv]
Anjuran tentang
ketekunan dan kerja kerastelah tergambar
dalam hadis Nabi Saw, seperti yang tersirat dalam hadis di atas, bahwa Nabi
Saw. sangat membenci sifat-sifat dan perilaku yang mendorong kepada kemunduran,
seperti malas, takut, bakhil dan lain
sebagainya.
4. Berkompetisi
dan Tolong-menolong
Al-Qur’an dalam
beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal shalih. Pesan
persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar”
atau perintah, seperti “fastabiqul khairat” (maka,
berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaika . Oleh karena dasar semangat
dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta
amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau
mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun).
حَدَّثَنَا خَلاَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِى بُرْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى
بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِى مُوسَى عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم
قَالَ ( إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ ، يَشُدُّ
بَعْضُهُ بَعْضًا) وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ. [xvi]
5. Jujur
Sikap ini dalam
Islam diistilahkan dengan shidiq,artinya mempunyai kejujuran dan
selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan dengan
nilai-nilai yang benar dalam Islam. Tidak ada kontradiksi antara realita
dilapangan dengan konsep kerja yang ada. Dalam dunia kerja dan usaha kejujuran
ditampilakan dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan, baik ketepatan waktu,
janji, pelayanan, mengakui kekurangan, dan kekurangan tersebut diperbaiki
secara terus-menerus, serta menjauhi dari berbuat bohong atau menipu. Berkaitan
dengan kejujuran ini, terdapat beberapa hadis, antara lain :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا
يَعْقُوبُ - وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقَارِىُّ ح وَحَدَّثَنَا أَبُو
الأَحْوَصِ مُحَمَّدُ بْنُ حَيَّانَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى حَازِمٍ كِلاَهُمَا
عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : (مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا
السِّلاَحَ فَلَيْسَ مِنَّا وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا).[xvii]
6. Disiplin
Selanjutnya
sehubungan dengan ciri-ciri etos kerja tinggi yang berhubungan dengan sikap
moral yaitu disiplin dan konsekuen, atau dalam Islam disebut dengan amanah.
Sikap bertanggungjawab terhadap amanah merupakan salah satu bentuk akhlaq
bermasyarakat secara umum, dalam konteks ini adalah dunia kerja. Allah
memerintahkan untuk menepati janji adalah bagian dari dasar pentingnya sikap
amanah. Janji atau uqud dalam ayat tersebut mencakup seluruh
hubungan, baik dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain dan alam semesta, atau
bisa dikatakan mencakup seluruh wilayah tanggung jawab moral dan sosial
manusia. Untuk menepati amanah tersebut dituntut kedisiplinan yang
sungguh-sungguh terutama yang berhubungan dengan waktu serta kualitas suatu
pekerjaan yang semestinya dipenuhi. Prinsip amanah pada awalnya sudah
dikemukakan oleh Nabi Saw. dalam hadisnya:
قَالَ الْقُرَشِىُّ حَدَّثَنِى أَبِى أَنَّهُ
سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ (أَدِّ الأَمَانَةَ
إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ). [xviii]
7. Konsisten
dan Istiqamah
Istiqamah dalam
kebaikan ditampilkan dalam keteguhan dan kesabaran sehingga menghasilkan
sesuatu yang maksimal. Istiqamah merupakan hasil dari suatu proses yang
dilakukan secara terus-menerus. Proses itu akan menumbuh-kembangkan suatu
sistem yang baik, jujur dan terbuka, dan sebaliknya keburukan dan
ketidakjujuran akan tereduksi secara nyata. Orang atau lembaga yang istiqamah
dalam kebaikan akan mendapatkan ketenangan dan sekaligus akan mendapatkan
solusi daris segala persoalan yang ada. Inilah janji Allah kepada hamba-Nya
yang konsisten/istiqamah.
أخبرنا عبد الله بن قحطبة حدثنا أحمد بن أبان
القرشي حدثنا إبراهيم بن سعد عن الزهريّ عن محمد بن عبد الرحمن بن ماعز : عن سفيان
بن عبد الله الثقفيّ قال قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ حَدِّثْنِى بِأَمْرٍ
أَعْتَصِمُ بِهِ. قَالَ: (قُلْ رَبِّىَ اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ.) [xix]
Dilihat dari
kandungan isi hadis di atas, tidak secara spesifik mengarah kepada dorongan
untuk berbuat istiqamah/konsisten dalam kerja. Namun prinsip itu dapat digali
dalam keimanan seseorang mengenai ajaran agama Islam seperti yang tersebut di
dalam hadis, yang kemudian bisa dikorelasikan dalam bidang pekerjaan, yaitu
bahwa seorang muslim harus selalu konsisten dalam beramal, baik af’al
qalbatau af’al dzahir.
8. Percaya
diri dan Kemandirian
Sesungguhnya
daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat pada jiwa yang merdeka, karena
jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam penjara nafsunya sendiri, sehingga dia
tidak pernah mampu mengaktualisasikan aset dan kemampuan serta potensi ilahiyah
yang ia miliki yang sungguh sangat besar nilainya. Semangat berusaha dengan
jerih payah diri sendiri merupakan hal sangat mulia posisi keberhasilannya
dalam usaha pekerjaan, sebagaimana disinyalir oleh Nabi Saw :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ عُمَارَةَ عَنْ
عَمَّتِهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم (إِنَّ
أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ )[xx]
9. Efisien
dan Hemat
Agama Islam
sangat menghargai harta dan kekayaan. Jika orang mengatakan bahwa agama Islam
membenci harta, adalah tidak benar. Yang dibenci itu ialah mempergunakan harta
atau mencari harta dan mengumpulkannya untuk jalan-jalan yang tidak
mendatangkan maslahat, atau tidak pada tempatnya, serta tidak sesuai dengan
ketentuan agama, akal yang sehat dan ‘urf (kebiasaan
yang baik). Demi kemaslahatan harta tersebut, maka sangat dianjurkan untuk
berperilaku hemat dan efisien dalam pemanfaatannya, agar hasil yang dicapai
juga maksimal. Namun sifat hemat di sini tidak sampai kepada kerendahan sifat
yaitu kikir atau bakhil. Sebagian ulama membatasi sikap hemat yang
dibenarkan kepada perilaku yang berada antara sifat boros dan kikir, maksudnya
hemat itu berada di tengah kedua sifat tersebut. Kedua sifat tersebut akan
berdampak negatif dalam kerja dan kehidupan, serta tidak memiliki kemanfaatan
sedikit pun, padahal Islam melarang sesorang untuk berlaku yang tidak
bermanfaat :
أخبرنا الحسين بن عبد الله القطان بالرقة قال
حدثنا هشام بن عمار قال حدثنا محمد بن شعيب عن الأوزاعي عن قرة عبد الرحمن عن
الزهري عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (إنَّ
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ.)[xxi]
Efisiensi pada
prinsinya tidak hanya sebatas harta benda, namun mencakup segala komponen dalam
kerja, seperti waktu, tenaga dan pikiran. Ketika melakukan sesuatu didasari
pencapaian hasil yang maksimal dengan tanpa menghamburkan potensi yang
dimiliki, maka ia telah bersikap efisien. Dalam hal ini Nabi Saw.
bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن أَبِي زُرْعَةَ،
حَدَّثَنَا هِشَامُ بن عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا مُخَيِّسُ بن تَمِيمٍ، حَدَّثَنِي
حَفْصُ بن عُمَرَ، حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بن عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ
ابْنِ عُمَرَ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :(اَلْإِقْتِصَادُ
فِي النَّفَقَةِ نِصْفُ الْمَعِيْشَةِ ، وَالتَّوَدُّدُ إِلَى النَّاسِ نِصْفُ
الْعَقْلِ ، وَحُسْنُ السُّؤَالِ نِصْفُ الْعِلْمِ.)[xxii]
Pembahasan
ciri-ciri atau sikap-sikap etos kerja islami tidak terbatas pada apa yang telah
penulis sebutkan di atas, karena masih banyak sikap lain yang perlu dimiliki
bagi setiap pelaku kerja untuk memperoleh keberhasilan dalam profesi yang ia
tekuni. Namun, pada prinsipnya Islam telah mengatur cara dan perilaku ke arah
itu, yang terkadang tidak secara tersurat bisa kita dapatkan. Seperti hadis
yang telah penulis tampilkan, itu hanya sebagian kecil dari prinsip etos kerja
islami yang tertuang dalam hadis Nabi Saw. Apalagi kalau kita mau membuka
lembaran sejarah nabawiyah, maka banyak akan kita temukan prinsip, perilaku dan
sikap Nabi Saw. dalam menanamkan etos kerja yang tinggi kepada umatnya,
sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi pada masa mudanya juga pernah berprofesi
sebagai pedagang, dan keberhasilan perjuangan Nabi sebagai pemimpin atau imam
pasti juga dilandasi sikap etos kerja yang tinggi.
Hadis-hadis
yang telah penulis tampilkan dalam pembahasan di atas kalau dilihat dari sanad
dan para perawinya, ada sebagaian yang berstatus hadis dla’if, sehingga
kelayakan untuk sebagai landasan dalam ilmu keislaman memang masih diragukan..
Namun demikian, kenyataan seperti itu bagi sebagian ahli hadis adalah
diberlakukan untuk penetapan hukum, yang sangat membutuhkan kebenaran dan
kekuatan dari hadis tersebut sebagai landasan hukumnya. Sedangkan menurut
penulis, permasalahan etos kerja ini bukanlah bagian dari hukum yang sarat akan
nilai hitam atau putih, tetapi lebih merupakan bagian dari motivasi dalam
beramal. Oleh karena itu, penggunaan hadis dla’if pun bisa diperkenankan selama
kedla’ifannya tidak parah, atau mencapai tingkatan maudlu’ (palsu). Dalam hal
ini ulama’ hadis mengisyaratkan dengan kajian fadlail al-a’mal. Al-Dahlawi
berka; “Pendapat yang masyhur menyatakan bahwa hadis dla’if bisa
dipakai dalam permaslahan fadla’il al-a’mal, tidak selainnya.”[xxiii]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan
tentang etos kerja di atas, dapat kita ambil suatu kesimpulan, bahwa ajaran
Islam yang bersifat universal juga mengatur cara-cara agar manusia berhasil di
dalam menggeluti profesinya. Hal ini dapat digali dari hadis-hadis Nabi Saw tentang
prinsip-prinsip etos kerja islami, baik dalam konteks kerja secara spesifik,
maupun konteks amalsecara umum.
Namun, ada poin penting yang menjadi ciri khas etos kerja islami dari etos
kerja pada umumnya, yaitu motivasi dalam bekerja, yang tidak hanya keberhasilan
duniawi sebagai tujuannya, tetapi harus terdorong oleh motivasi ibadah untuk
meraih kebahagiaan akhirat, sehingga nilai-nilai ilahiyah tidak bisa dinafikan
darinya. Kemudian pada dasarnya ciri-ciri dalam etos kerja sangat luas, tidak
terbatas pada beberapa poin, tetapi penulis bisa menyimpulkan bahwa setiap
sikap dan perilaku yang mengantarkan pelaku kerja kepada keberhasilan usaha,
itulah bagian dari sikap etos kerja tinggi. Semoga setelah kita mengetahuinya,
akan muncul suatu tekad dan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung
tinggi keberhasilan, dan tidak hanya berisi konsep atau wacana saja, namun juga
memperhatikan seberapa jauh konsep tersebut bisa diaplikasikan dalam kehidupan.
Pada intinya, konsep ajaran Islam adalah bernuansa
iman, ilmu dan amal shalih.
Etos kerja
seorang muslim ialah semangat tinggi menapaki jalan lurus, mengharapkan ridha
Allah SWT. Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah:
1.
Adanya keterkaitan individu terhadap Allah, berusaha
keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya.
2.
Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh
jenis pekerjaan.
3.
Tidak memaksakan semua harus dipekerjakan
secara professional
4.
Tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai
Allah.
5.
Professionalisme dalam setiap pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Slamet.
2010. Belajar & faktor-faktor mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.
Hadhiri, Chouruddin.2005. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an.
Jakarta: Gema Insani Press.
Nurjanah,
Siti. 2013. Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Raja Wali Pers.
A. Rahman I. Doi. 2002. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah
(Syariah). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Enizar.2013.
Hadis Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
A.
Hanafi, Theology Islam. 1987. (Jakarta: Pustaka Al Husna1.
M. Dawam Raharjo. 1999. Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi,
(Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat.
Ash-Shiddieqy, Hasbi TM. 1998. Al-Islam
2, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Asifuddin,
Ahmad Janan. 2004. Etos Kerja Islami, Surakarta: Muhammadiyah
University Press.
Tasmara, Toto.
1995. Etos Kerja Pribadi Muslim, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Bukhori, Shahih al-Bukhari,
Baeirut: Dar Ibn Katsir, 1987
Al-Thabrani. 1983. al-Mu’jam al-Kabir, Maktabah ‘Ulum wa
al-Hikam.
al-Mu’jam al-Awsath, Kairo, Dar
al-Haramain, 1415 H.
A. ibn Hanbal, Musnad
Ahmad ibn Hanbal, Kairo: Muassasah al-Qurtubah, tt.
Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar
Ihya’ al-Turats al-Arabi, tt.
Ibnu Hibban. 1993. Shahih Ibnu Hibban,
Beirut: Muassasah al-Risalah.
Al-Dahlawi.
1986. Muqaddimah fi ushul al-Hadis, Beirut: Dar al-Basya’ir
al-Islamiyah.
Hafidhuddin, Didin. 2003. Islam
Aplikatif, Jakarta: Gema Insani Press.
Nasr, Sayyed
Hossein, Pandangan Islam terhadap Etika Kerja, terj. Ahmad Mu’azin
End Noot
[i]
Slamet. Belajar & faktor-faktor mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.
2010, h, 102
[ii]
Chouruddin hadhiri. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Jakarta: Gema
Insani Press. 2005, h,196
[iii]
Siti Nurjanah. Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Raja Wali Pers. 2013, h, 127
[iv]A.
Rahman I. Doi . Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah). Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada. 2002, h, 502
[v]
Enizar. Hadis Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2013, h, 8
[vi]
Al-Najm (53): 39-40
[vii]
Q.S. AN-nur : 39
[ix]
Ibid, h, 105
[x] Bukhori, Shahih al-Bukhari, (Baeirut:
Dar Ibn Katsir, 1987), juz 6, h. 2461.
[xi]
Ibid, juz 1, h. 33.
[xii]
Q.S. As-Syuro: 11
[xiii]
Al-Thabrani, al-Mu’jam
al-Kabir, (Maktabah ‘Ulum wa al-Hikam, 1983), juz. 12, h. 453. Al-Suyuthi
menilai hadis ini dha’if, karena terdapat perawi yang bernama Sukain ibn Siraj.
Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Kabir, (al-Maktabah al-Syamilah), h.
983.
[xiv]
Al-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath,
(Kairo, Dar al-Haramain, 1415 H.), juz 1, h. 275. Al-Suyuthi berkomentar bahwa
Mus’ab ibn Tsabit dinilai lemah (dha’if) oleh segolongan ulama’ hadis. Lihat
Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Kabir, h. 8859.
[xv]
Bukhari, Shahih al-Bukhari,
juz 5, h. 2343
[xvii]
Muslim, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi), juz 1, h. 99
[xxii]
Al-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath, juz 7, h. 25. Ad-Dzahabi berkomentar
bahwa terdapat dua perawi majhul di dalam sanad hadis tersebut, yaitu Mukhayyis
ibn Tamim dan Hafs ibn Umar. Lihat Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Kabir, h.196.
[xxiii]
Al-Dahlawi, Muqaddimah fi ushul
al-Hadis, (Beirut: Dar al-Basya’ir al-Islamiyah, 1986), h. 83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar