Rabu, 21 Januari 2015

Makalah Hadits Ekonomi, Persepsi muslim yang keliru terhadap kerja

HADIS EKONOMI
“Persepsi Muslim Yang Keliru Terhadap Kerja”
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hadits Ekonomi
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Enizar, M.Ag.

 


           


                                                                                   


       Disusun Oleh :
              Hero Tamo                       13103054

Program Studi : Ekonomi Syariah
Jurusan : Ekonomi Syariah
Kelas : C
Semester: III
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2014



Kata Pengantar
Segala Puji bagi Allah SWT,yang telah menurunkan Al-Qur’an untuk dijadikan pedoman hidup manusia baik di dunia sampai akhirat kelak. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw., kepada keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.
Ucapan terimakasih kepada Allah Swt, dimana atas izin dan rahmatnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penyusunan makalah ini sehubungan untuk memenuhi tugas mandiri hadits ekonomi yang berjudul “Persepsi Muslim Yang Keliru Terhadap Kerja” .
Didalam pandangan muslim tak jarang menganggap pekerjaan itu hanyalah urusan duniawi saja dan tidak ada hubungannya dengan amalan dan ibadah yang akan kita bawa menuju akhirat.
Oleh sebab itu makalah ini akan menjelaskan permasalahan tersebut. Karena, di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasul banyak yang mengatakan bekerja bukan hanya urusan duniawi saja tetapi pekerjaan itu bisa ternilai ibadah apabila di kerjakan dengan tanggung jawab dan hanya mengharap ridha dari Allah Swt.



                                                Metro, 28 Oktober 2014

Hero Tamo



DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar isi
BAB I:
1.1.Pendahuluan
1.2.Latar Belakang
1.3.Rumusan Masalah

BAB II:
Pembahasan
A.    Persepsi Muslim Yang Keliru Terhadap Kerja............................        1
B.     Aspek-Aspek Etos (Etika) Kerja.................................................       3
C.     Bekerja Dalam Perspektif Islam..................................................        6
D.    Hadits-Hadits Tentang Etos Kerja Islama .................................        9
E.     Karakteristik Kerja......................................................................        10
F.      Etos Kerja Tinggi Dalam Islam...................................................        13

BAB III
Penutup
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
END NOTE





BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Bekerja merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan didalam agama Islam, dimana itu semua dilakukan oleh semua manusia untuk memenuhi kehidupannya di dunia ini. Seperti dalam QS Al-Nahl [16]: 14 Allah berfirman:
“Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.”
Tetapi, yang terjadi di dalam masyarakat umum, pekerjaan hanyalah suatu proses yang hanya bermanfaat untuk duniawi saja. Kesalahan dalam paradigma yang berkembang di dalam masyarakat inilah yang menimbulkan permasalahan dalam persepsi seorang muslim tentang pekerjaan yang dia lakukan. Banyak manusia yang menghalalkan segala cara demi memenuhi kebutuhannya. Kesalahan ini dapat kita lihat pada kehidupan bermasyarakat dalam dunia kehidupan, bagi mereka pekerjaan sekarang ini hanyalah untuk keperluan duniawi saja. Inilah permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini.







B.       Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas saya membatasi pembahasan dalam makalah ini, sebagai berikut:
1.    Apa pandangan Islam tentang bekerja?
2.    Bekerja seperti apa yang Islam anjurkan beserta tujuannya?

C.      Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk:
1.    Memahami pandangan Islam tentang bekerja.
2.    Memahami anjuran bekerja dalam pandangan Islam beserta tujuan dari pekerjaan tersebut.








 BAB II
PEMBAHASAN
A.      Persepsi Islam (Muslim) Yang Keliru Terhadap Kerja
Persepsi merupakan suatu penilaian atau memaknai suatu hal yang pada akhirnya dapat di pastikan maksud dan tujuan dari masalah yang dijadikan pokok pemikiran persepsi tersebut. Jadi persepsi adalah suatu proses yang masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia, melalui persepsi tersebut manusia terus-menerus melakukan hubungan dengan lingkungan yang mencakup ruanglingkup dari dasar pemikiran persepsi tersebut. [i]
Bekerja dalam pandangan Islam bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga merupakan suatu kewajiban agama, sehingga perlu diperhatikan cara dan proses kerja yang akan membawa konsekuensi terhadap hasil. Dalam bahasan yang akan datang akan dikemukakan beberapa aturan yang harus diperhatikan dalam bekerja. Bekerja untuk kebahagiaan di bumi dan di akhirat seperti dalam Al-Qur’an Qs. Al-Qashah: “carilah kebahagiaan akhirat namun jangan melupakan kenikmatan duniawi.”[ii]
Dalam kenyataannya, sering terjadi kesalahan dalam memahami aturan Islam, yang menganggap bekerja hanya urusan duniawi saja dan tidak memiliki dimensi ibadah, namun, jika diperhatikan posisi bekerja dalam Al-Qur’an terlihat adanya dimensi ibadah atau pelaksanaan perintah Allah, seperti dalam hadits Rasul:

عَنْ أَبيِ مَسعُوْدٍ الانْصَارِيَّ فَقُاتُ عَنِ النَّبِي فَقَالَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا كَا نَتْ لَهُ صَدَقَةً
“Dari Abu  Mas’ud al-Anshari, dari Rasulullah Saw. Beliau bersabda: apabila Muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan ia ikhlas maka di hitung sebagai sedekah.”
Dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, manusia harus memenuhi beberapa kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan primer merupakan kebutuhan mendasar yang sangat diperlukan oleh manusia seperti sandang, pangan dan papan. Untuk mendapatkan semua itu harus berusaha. Banyak usaha atau pekerjaan yang dapat dilakukan oleh seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut.
Manusia diciptakan oleh Allah swt, sebagai khalifah di muka bumi yang bertugas memakmurkan bumi ini, dengan cara mengolah dan memanfaatkan sumber daya yang telah disediakan oleh Allah untuk manusia. Semua itu disiapkan Allah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian bawasanya manusia tersebut haruslah berusaha. Penciptaan manusia sebagai khalifah di jelaskan dalan Al-Qur’an:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan membuat pertumpahan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfitman: “sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”[iii]
Dewasa ini tidak mampu kita pungkiri lagi, bekerja merupakan kepeluan yang sangat penting untuk menunjang kehidupan di dunia ini. Banyak sekali macam pekerjaan yang masyarakat lakukan dari pekerjaan yang berlevelkan pejabat hingga pekerjaan yang berlevelkan bawahan bahkan buruh biasa. Bekerja yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dunia, kini berubah fungsi menjadi penimbunan kekayaan.
Cara yang ditempuhpun bermacam-macam, ada yang menggunakan atau mengharapkan keridhaan Allah swt bahkan ada yang tanpa memikirkan proses yang mereka lakukan. Memang tidak bisa kita pukul rata dengan mengatakan bahwa semua upaya yang dilakukan adalah bernilai salah jika dipandang dari kaca mata Islam. Tapi, banyak manusia yang bekerja berorientasi pada keuntungan semata. Tidak lagi menyadari hakikat penciptaan manusia untuk beribadah kepada Allah.
Dengan kata-kata yang biasanya dirinya sendiri, setiap orang yang bekerja pasti menginginkan keuntungan. Memang benar, kita tidak akan memenuhi kebutuhan jika tidak mengambil keuntungan. Tapi kita tidak akan masuk surga tanpa berkah dari Allah. Keuntungan boleh saja kita dapatkan, dengan catatan keuntungan yang didapat oleh penjual haruslah normal, dan pembeli mampu mendapatkan manfaat sesuai dengan harga yang telah dibayarkan
Dalam pengertian ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus berulang sebagai sebuah kebiasaan.

B.     Aspek-Aspek Etos (Etika) Kerja
Dari ratusan teori sukses yang beredar di masyarakat sekarang ini, Sinamo (2005)  menyederhanakannya menjadi empat pilar teori utama. Keempat pilar inilah yang sesungguhnya bertanggung jawab menopang semua jenis dan sistem keberhasilan yang berkelanjutan (sustainable success system) pada semua tingkatan. Keempat elemen itu lalu dikonstruksikan dalam sebuah konsep besar yang disebutnya sebagai Catur Dharma Mahardika (bahasa Sansekerta) yang berarti Empat Darma Keberhasilan Utama, yaitu:
1.                  Mencetak prestasi dengan motivasi superior.
2.                  Membangun masa depan dengan kepemimpinan visioner.
3.                  Menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif.
4.                  Meningkatkan mutu dengan keunggulan insani.

Keempat darma ini kemudian dirumuskan menjadi delapan aspek etos kerja sebagai berikut:
1.      Kerja adalah rahmat. Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun.
2.      Kerja adalah amanah. Kerja merupakan titipan berharga yang dipercayakan pada kita sehingga secara moral kita harus bekerja dengan benar dan penuh tanggung jawab. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya.
3.      Kerja adalah panggilan. Kerja merupakan suatu darma yang sesuai dengan panggilan jiwa sehingga kita mampu bekerja dengan penuh integritas. Jadi, jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri sendiri, “I’m doing my best!”. Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya.
4.      Kerja adalah aktualisasi. Pekerjaan adalah sarana bagi kita untuk mencapai hakikat manusia yang tertinggi, sehingga kita akan bekerja keras dengan penuh semangat. Apa pun pekerjaan kita, entah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita merasa “ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk termenung tanpa pekerjaan.
5.      Kerja adalah ibadah. Bekerja merupakan bentuk bakti dan ketakwaan kepada Tuhan, sehingga melalui pekerjaan manusia mengarahkan dirinya pada tujuan agung Sang Pencipta dalam pengabdian. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata.
6.      Kerja adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan perasaan senang seperti halnya melakukan hobi. Sinamo mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa menikmati pekerjaannya.
7.      Kerja adalah kehormatan. Seremeh apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita. Sinamo mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.
8.      Kerja adalah pelayanan. Manusia bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja tetapi untuk melayani, sehingga harus bekerja dengan sempurna dan penuh kerendahan hati. Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercusuar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama.

Anoraga (2009) juga memaparkan secara eksplisit beberapa sikap yang seharusnya mendasari seseorang dalam memberi nilai pada kerja, yang disimpulkan sebagai berikut:
1.   Bekerja adalah hakikat kehidupan manusia.
2.   Bekerja adalah suatu berkat Tuhan.
3.   Bekerja merupakan sumber penghasilan yang halal dan tidak amoral.
4.  Bekerja merupakan suatu kesempatan untuk mengembangkan diri
5.   Bekerja merupakan sarana pelayanan dan perwujudan kasih

Dalam tulisannya, Kusnan (2004) menyimpulkan pemahaman bahwa etos kerja mencerminkan suatu sikap yang memiliki dua alternatif, positif dan negatif. Suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:
1. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia,
2. Kerja sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia,
3. Kerja dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan
4. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan
5. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.

Bagi individu atau kelompok masyarakat yang memiliki etos kerja yang rendah, maka akan ditunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya (Kusnan, 2004), yaitu :
1.  Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri,
2.  Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,
3.  Kerja dipandang sebagai penghambat dalam memperoleh kesenangan,
4.  Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,
5.  Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.

Dari berbagai aspek yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki etos kerja tinggi akan terus berusaha untuk memperbaiki dirinya, sehingga nilai pekerjaannya bukan hanya bersifat produktif materialistik tapi juga melibatkan kepuasaan spiritualitas dan emosional.
.
C.      Bekerja Dalam Perspektif Islam
Manusia tidak bisa dilepaskan dari pekerjaan. Manusia diciptakan oleh Allah swt, bukan hanya sebagai hiasan pekerjaan, tetapi juga sebagai suatu ciptaan yang diberi amanah, dan salah satu tugasnya ialah memelihara ciptaan ini dengan pekerjaannya sebagai seorang khalifah di muka bumi ini. Dengan demikian kerja merupakan tugas Ilahi yang mengandung kewajiban dan hak. Kerja sebagai suatu upaya untuk merubah kehidupan manusia, maka manusia dituntut untuk memiliki etos kerja yang tinggi dalam kehidupannya, karena mustahil bila kita tidak bekerja akan mendapatkan hidup yang layak
Sangat baik menjaga amanah kepada Allah. Namun, tidak berarti manusia tidak berusaha mencari nafkah yang halal. Al-Qur’an menjelaskan:
“Dialah yang menjadikan bumi untuk mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekinya, dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.[iv]
Ayat di atas menjelaskan bahwa bumi ini diciptakan oleh Allah, dan manusia dituntut untuk mencari rezeki didalamnya dengan usaha keras, sehingga manusia dapat mengeruk hasil yang luar biasa besarnya. Dalam pada itu, manusia boleh mengambil hasil bumi, hasil tambang, untuk mendapatkan keuintungan. Akan tetapi, ini semua membutuhkan usaha keras manusia. Jika hanya duduk termenung berpangku tangan tanpa usaha hanya berserah diri kepada Allah swt, tidak akan memdapatkan hasil yang luar biasa dan kekayaan sumber daya mineral yang maha dahsyat itu. Sama halnya, seseorang semata-mata menggantungkan kepada derma orang lain. Dia dapat melakukan hal yang terakhir ini jika memang sudah tidak dapat berusaha lagi untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.[v]
Didalam petunjuk Rasulullah saw, aktivitas ekonomi yang bai adalah aktivitas produksi. Dalam ekonomi kacamata Islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat terkait erat dengan halal-haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya. Dengan kata lain, aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi.
Ada beberapa contoh perilaku masyarakat yang kurang produktif akibat dari pemahaman yang kurang tepat terhadap ajaran agama. Seperti adanya suatu kecenderungan di sebagian umat Islam yang bersikap pasrah atau menyerah kepada nasib. Hal ini barangkali ada hubungannya dengan suatu aliran teologi Jabariah yang percaya bahwa semua tindakan dan perilaku manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Begitu juga pemahaman zuhud yang menimbulkan satu sikap hidup yang kurang menghargai sesuatu yang bersifat material dan cenderung orientasinya hanya ke akhirat saja dan tidak peduli kepada hal-hal yang bersifat duniawi dan kemajuan-kemajuan ekonomi.
Tidak terlepas dari itu semua, harusnya kita sadari hakikat penciptaan manusia di dunia ini menjadi khalifah adalah untuk beribadah. Dalam setiap tindak-tanduk yang dilakukan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Begitupun dalam rangka memenuhi kebutuhan. Manusia bertugas memakmurkan bumi ini, dengan cara mengelola dan menggunakan sumber daya alam yang telah diberikan Allah kepada dan untuk manusia.
Di dalam Al-Qur’an, perintah untuk bekerja disebutkan secara beriringan dengan perintah melaksanakan shalat. Dengan kata lain manusia haruslah berusaha untuk memenuhi kebutuhan, tidak hanya melaksanakan rutinitas ibadah dalam bentuk shalat, tapi juga harus bisa meletakkan suatu aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sebagai suatu ibadah kepada Allah. Misalnya dalam QS Al-Jumu’ah [62]: 10:
فاذا قضيت الصلا فانتشروا في الأرض وابتغوا من فضل اللّه واذكروااللّه كثيرا لعاكم تفلحون
“Kalau anda telah selesai melaksanakan shalat, keluarlah dimana saja dibumi Allah ini untuk mencari rezeki dan karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak aggar kamu beruntung”.

Dalam ayat ini dapat dipahami bahwa orang yang beriman itu adalah orang yang setelah melaksanakan tugasnya sebagai hamba Allah (menjaga hubungan vertikal), ia harus bekerja keras, dan tidak malas. Agar sukses dan tetap dalam koridor yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya, Allah mengingatkan agar dalam bekerja manusia harus selalu banyak mengingat Allah, sehingga tetap terjaga dalam usaha yang dibenarkan Allah, dan tidak merugikan orang lain.
Perlu disadari bahwa seorang muslim bekerja tidaklah hanya sekedar untuk mendapat gaji, pangkat atau hanya sekedar menjaga gengsi agar tidak disebut sebagai pengangguran. Karena kesadaran bekerja yang produktif akan melahirkan semangat dan tanggung jawab yang merupakan ciri khas dan karakter kepribadian seorang muslim.
Orang-orang muslim dituntun mencari nafkah yang halal disepanjang hidup mereka dan semata-mata tidak tergantung kepada derma. Orang yang memberi adalah orang yang lebih baik daripada menerima. Jadi orang Islam tidak harus mengasingkan diri ke hutan atau biara melepaskan tanggung jawabnya terhadap istri dan anak-anaknya. Al-Qur’an telah menjelaskan.
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)”.[vi]
Kemuliaan seorang muslim itu bergantung kepada apa yang dilakukannya. Dengan itu, sesuatu amalan atau pekerjaan yang mendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk diberi perhatian. Amalan atau pekerjaan yang demikian selain memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di akherat kelak.

D.    Hadis-Hadis Tentang Etos Kerja Islam
عن أنس رضي اللّه عنه قال : كان رسول اللّه ص.م. يقول: اللهمّ أعوذبك من العجز والكسل والجبن واعو ذبك من عذاب القبروفتنة المحياو المماات. (روه مسلم)                              
Artinya:
“Dari Anas ra. Berkata: Rasulullah saw bersabda: Ya Allah sesungguhnya aku ini berlindung kepada-Mu (agar terhindar) dari sifat-sifat lemah malas dan penakut, dan aku berlindung pula kepada-Mu dari siksa kubur, ujian hidup dan mati.”

Penjelasan Hadits:
Hadits diatas berisi tentang do’a agar kita semua di jauhkan dari sifat lemah, malas, serta penakut, serta do’a minta dijauhkan dari siksa kubur dan ujian di dunia maupun di akhirat. Dan sebagai konsekuensinya maka kita harus berusaha sekeras mungkin untuk menghilangkan sifat-sifat buruk kita dan melakukan kegiatan yang positif.
Sifat lemah disini adalah meliputi lemah fisik dan mental. Jika fisik lemah maka tidak mampu berusaha secara maksimal dan optimal. Sementara lemah mental menyebabkan seseorang tidak dapat berfikir dengan baik dan akan menyebabkan kebodohan.
Ujian dari manusia dari Allah yang berupa ujian kebaikan, seperti harta, jabatan, anak dan kesehatan. Sedangkan ujian yang sedikit kearah yang kurang baik, seperti kecelakaan dan musibah lainnya.
Karakteristik etos kerja Islam di sini digali dan dirumuskan berdasarkan konsep iman dan amal saleh, karena etos kerja menurut pemahaman qur’ani tidak dapat menjadi islami bila tidak dilandasi oleh iman dan amal saleh. Suatu kerja atau perbuatan, meski secara nyata memberikan manfaat bersifat keduniaan kepada orang lain, namun tanpa disertai iman pelakunya, kerja itu tidak akan membuahkan pahala di akherat kelak. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an. “Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.”[vii]
Dari pada itu masih terdapat satu unsur lagi yang bersama iman dan amal saleh dalam membentuk tiga pola kehidupan yang kokoh dan benar, yaitu keilmuan. Ilmu ternyata menjadi landasan sekaligus jembatan yang harus ada bagi iman dan amal saleh. Tiap-tiap ajaran Islam dapat diamalkan secara benar dan baik hanya bila didukung oleh pengetahuan atau ilmu tentang ajaran itu. Dengan demikian menurut perspektif Islam, iman, ilmu dan amal merupakan rangkaian yang saling menyempurnakan, dan dapat digali darinya mengenai etos kerja Islam.

E.     Karekteristik Kerja
Adapun karakteristik yang muncul dari tiga unsur di atas adalah sebagai berikut[viii] :
1.    Kerja merupakan penjabaran aqidah
Sehubungan dengan kerja, aqidah dan ajaran Islam adalah menjadi sumber nilai dan sumber ilmu, di samping sebagai sumber motivasi. Sebagai sumber nilai islam menetapkan norma-norma yang terkait dengan kerja. Sangat banyak pekerjaan yang diperkenankan dalam Islam, namun ada pula pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dilarang seperti mencuri, berjudi, riba, mengurangi timbangan dan pekerjaan-pekerjaan lain yang mengandung kezaliman. Sehingga dari itu dapat dikembangkan menjadi nilai/etika kerja islami.[ix]
Sejarah telah membuktikan bahwa aqidah Islam berpotensi besar sebagai sumber motivasi yang mampu mengubah serta membangun sikap hidup mendasar, karakter, serta kebiasaan perilaku manusia. Berawal dari keyakinan aqidah dan doktrin tentang adanya kehidupan akhirat, maka kerja dalam Islam tidak hanya berorientasi duniawi, namun nilai ibadah di sisi Allah juga harus diperhatikan untuk kepantingan akhirat manusia. Oleh karena itu, dalam bekerja harus ada motivasi/niat ke arah itu, seperti dengan bertujuan mendapatkan ridha Allah Swt. Inilah nilai karakteristik (ciri khas) dalam etos kerja Islam. Salah satu bentuk penjabaran motivasi amal saleh dan kerja islami, Rasulullah Saw. mengemukakan hadis yang masyhur tentang permasalahan niat.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ يَقُولُ أَخْبَرَنِى مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِىَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضى الله عنه يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِصلى الله عليه وسلم يَقُولُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْه[x]
Dari hadis tersebut dapat ditangkap suatu pengertian bahwa begitu menentukan dan besarnya peranan niat dalam amal islami, karena motivasi kegiatan dan kerja adalah dalam rangka ibadah, tidak boleh salah alamat, dan harus ikhlas lillahi ta’ala. Hal ini didasari keyakinan bahwa kerja atau perbuatan positif apapun, yang pada mulanya bernilai sekuler atau duniawi belaka dapat berubah menjadi bernilai ibadah jika didasari niat, motivasi atau komitmen ibadah. Sehingga karakteristik inilah yang menjadi pembeda etos kerja islami dengan etos kerja lainnya.

2.    Kerja Dilandasi Ilmu
Kerja yang dilandasi iman memang amat penting, agar tekendali oleh tujuan yang luhur. Begitu juga dengan ilmu, tanpanya kerja akan salah arah dan tergelincir, karena dilandasi pemahaman yang tidak proporsional. Dengan ilmu, orang dituntut bekerja dengan rasional, ilmiah, proaktif, kreatif, baik, teratur, profesional, disiplin dan sikap-sikap baik lainya yang merupakan penunjang keberhasilan kerja. Kerja tanpa ilmu dan berlawanan dengan sikap tersebut sangat dilarang oleh Islam, bahkan kehancuran akan diperoleh jika melakukan sesuatu tanpa ilmu, seperti disinyalir oleh hadis Nabi Saw.:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ قَالَ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ وَحَدَّثَنِى إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحٍ قَالَ حَدَّثَنِى أَبِى قَالَ حَدَّثَنِى هِلاَلُ بْنُ عَلِىٍّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم فِى مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُحَدِّثُ، فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ سَمِعَ مَا قَالَ، فَكَرِهَ مَا قَالَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ لَمْ يَسْمَعْ، حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ (أَيْنَ أَرَاهُ السَّائِلَ عَنِ السَّاعَةِ). قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ:(فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ) . قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ (إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ)[xi]

3. Kerja dengan meneladani sifat-sifat ilahi serta mengikuti petunjuknya.
Banyak sifat-sifat manusia yang mempunyai nama, sebutan dan indikasi yang serupa dengan Asma’ al-Husna atau sifat-sifat Allah. Namun demikian tentu saja dalam bentuk serta kualitas yang sangat jauh berbeda, sesuai dengan firman Allah, “...tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.” [xii]
Sebagai contoh, Allah memiliki sifat Maha Sempurna, maka jika kita kaitkan dengan etos kerja, manusia diharapkan bisa mengembangkan aktivitas kerja dan prestasinya sampai kepada tingkat tertinggi menurut ukuran manusiawi, kalau dia berusaha dengan sungguh-sungguh. Hal ini menunjukkan dorongan agar manusia selalu berusaha semaksimal mungkin untuk keberhasilan hidup. 
Berdasarkan pembahasan tentang tiga karakteristik etos kerja islami tersebut, ternyata menimbulkan ciri-ciri yang dalam batas-batas tertentu serupa dengan karakteristik-karakteristik etos kerja tinggi pada umumnya. Dari karakteristik pertama ditemukan sikap hidup mendasar yang menjadi sumber motivasi etos kerja islami, karena pada umumnya setiap tindakan pasti terdapat motif sebelumnya. Dari karakteristik kedua ditemukan implikasi dalam kerja yaitu sikap kerja yang harus profesional, objektif, rasional, disiplin, teratur, ilmiah dan adanya perencanaan yang matang. Dan dari karakteristik ketiga ditemukan indikasi yang serupa dengan karakteristik etos kerja tinggi umumnya, yaitu dengan meneladani sifat-sifat ilahi dapat digali sikap kerja aktif, kreatif, tekun, konsekuen, berusaha, percaya diri dan mandiri.

F.     Etos  Kerja Tinggi Dalam Islam
Berikut ini beberapa sikap etos kerja tinggi dalam Islam, yang bersumber pada hadis Nabi Saw. yang terkadang secara tekstual tidak spesifik mengarah kepada konteks perilaku kerja, tetapi jika kita kaitkan dengan makna yang terkandung di dalamnya, maka bisa mendorong kepada kemajuan dan keberhasilan dalam kerja. Dan pada dasarnya sikap etos kerja tidak hanya terbatas dalam beberapa sikap ini saja, masih banyak sikap lain yang perlu diperhatikan, yang intinya adalah sikap yang mengantarkan kepada keberhasilan dan prestasi yang tinggi dalam dunia kerja, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum Islam. Dan dalam batas-batas tertentu, ciri-ciri etos kerja islami dan ciri-ciri etos kerja tinggi pada umumnya banyak keserupaannya, utamanya pada dataran lahiriahnya. Ciri-ciri tersebut antara lain :  

1.        Baik dan Bermanfaat
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. Sebagaimana Nabi Saw. mengajarkan untuk menjadi yang terbaik bagi umat :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن عَبْدِ الرَّحِيمِ الشَّافِعِيُّ الْحِمْصِيُّ حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بن هَاشِمٍ السِّمْسَارُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بن قَيْسٍ الضَّبِّيُّ حَدَّثَنَا سُكَيْنُ بن أَبِي سِرَاجٍ حَدَّثَنَا عَمْرُو بن دِينَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ وَأَيُّ الأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:(أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ، وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ، أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا، وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا، وَمَنَ كَفَّ غَضَبَهُ سَتَرَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ مَلأَ اللَّهُ قَلْبَهُ رَجَاءً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ مَشَى مَعَ أَخِيهِ فِي حَاجَةٍ حَتَّى يَتَهَيَّأَ لَهُ أَثْبَتَ اللَّهُ قَدَمَهُ يَوْمَ تَزُولُ الأَقْدَامِ.[xiii]
Ini adalah pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Pekerjaan yang standar adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material dan moral-spiritual. Ciri utama dari orang-orang mukmin yang berhasil dalam hidupnya adalah kemampuannya produktif dan melahirkan amalan-amalan yang bermanfaat.

2.   Kemantapan
Kualitas kerja yang mantap atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami yang berarti pekerjaan mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih.
حدثنا أحمد قال حدثنا مصعب قال حدثنا بشر بن السري عن مصعب بن ثابت عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أن رسول الله قال : (إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ.) [xiv]  
Sikap ini muncul karena dilandasi adanya profesionalitas kerja, yang diistilahkan oleh sebagian orang dengan fathanah, karena mengidentikan dengan kepribadian yang dimiliki Nabi Saw. sebagai teladan dalam permasalahan umat Islam. Fathanah artinya mengerti, memahami dan menghayati secara mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya, baik yang berhubungan dengan ilmu, peraturan, informasi perusahaan dan pekerjaan.

3.   Kerja Keras, Tekun dan Kreatif.
Kerja keras, yang dalam Islam diistilahkan dengan mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan, tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضى الله عنه  قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَتَعَوَّذُ يَقُولُ (اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَرَمِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ.)[xv]
Anjuran tentang ketekunan dan kerja kerastelah tergambar dalam hadis Nabi Saw, seperti yang tersirat dalam hadis di atas, bahwa Nabi Saw. sangat membenci sifat-sifat dan perilaku yang mendorong kepada kemunduran, seperti malas, takut, bakhil dan lain sebagainya.

4.        Berkompetisi dan Tolong-menolong
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal shalih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah, seperti “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaika . Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun).
حَدَّثَنَا خَلاَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِى بُرْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِى مُوسَى عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ( إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا)  وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ.  [xvi]

5.   Jujur
Sikap ini dalam Islam diistilahkan dengan shidiq,artinya mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan dengan nilai-nilai yang benar dalam Islam. Tidak ada kontradiksi antara realita dilapangan dengan konsep kerja yang ada. Dalam dunia kerja dan usaha kejujuran ditampilakan dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan, baik ketepatan waktu, janji, pelayanan, mengakui kekurangan, dan kekurangan tersebut diperbaiki secara terus-menerus, serta menjauhi dari berbuat bohong atau menipu. Berkaitan dengan kejujuran ini, terdapat beberapa hadis, antara lain :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ - وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقَارِىُّ ح وَحَدَّثَنَا أَبُو الأَحْوَصِ مُحَمَّدُ بْنُ حَيَّانَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى حَازِمٍ كِلاَهُمَا عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : (مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلاَحَ فَلَيْسَ مِنَّا وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا).[xvii]

6.   Disiplin
Selanjutnya sehubungan dengan ciri-ciri etos kerja tinggi yang berhubungan dengan sikap moral yaitu disiplin dan konsekuen, atau dalam Islam disebut dengan amanah. Sikap bertanggungjawab terhadap amanah merupakan salah satu bentuk akhlaq bermasyarakat secara umum, dalam konteks ini adalah dunia kerja. Allah memerintahkan untuk menepati janji adalah bagian dari dasar pentingnya sikap amanah. Janji atau uqud dalam ayat tersebut mencakup seluruh hubungan, baik dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain dan alam semesta, atau bisa dikatakan mencakup seluruh wilayah tanggung jawab moral dan sosial manusia. Untuk menepati amanah tersebut dituntut kedisiplinan yang sungguh-sungguh terutama yang berhubungan dengan waktu serta kualitas suatu pekerjaan yang semestinya dipenuhi. Prinsip amanah pada awalnya sudah dikemukakan oleh Nabi Saw. dalam hadisnya:
قَالَ الْقُرَشِىُّ حَدَّثَنِى أَبِى أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ (أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ). [xviii]

7.   Konsisten dan Istiqamah
Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan dan kesabaran sehingga menghasilkan sesuatu yang maksimal. Istiqamah merupakan hasil dari suatu proses yang dilakukan secara terus-menerus. Proses itu akan menumbuh-kembangkan suatu sistem yang baik, jujur dan terbuka, dan sebaliknya keburukan dan ketidakjujuran akan tereduksi secara nyata. Orang atau lembaga yang istiqamah dalam kebaikan akan mendapatkan ketenangan dan sekaligus akan mendapatkan solusi daris segala persoalan yang ada. Inilah janji Allah kepada hamba-Nya yang konsisten/istiqamah.
أخبرنا عبد الله بن قحطبة حدثنا أحمد بن أبان القرشي حدثنا إبراهيم بن سعد عن الزهريّ عن محمد بن عبد الرحمن بن ماعز : عن سفيان بن عبد الله الثقفيّ قال قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ حَدِّثْنِى بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ. قَالَ: (قُلْ رَبِّىَ اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ.) [xix]
Dilihat dari kandungan isi hadis di atas, tidak secara spesifik mengarah kepada dorongan untuk berbuat istiqamah/konsisten dalam kerja. Namun prinsip itu dapat digali dalam keimanan seseorang mengenai ajaran agama Islam seperti yang tersebut di dalam hadis, yang kemudian bisa dikorelasikan dalam bidang pekerjaan, yaitu bahwa seorang muslim harus selalu konsisten dalam beramal, baik af’al qalbatau af’al dzahir.

8.    Percaya diri  dan Kemandirian
Sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat pada jiwa yang merdeka, karena jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam penjara nafsunya sendiri, sehingga dia tidak pernah mampu mengaktualisasikan aset dan kemampuan serta potensi ilahiyah yang ia miliki yang sungguh sangat besar nilainya. Semangat berusaha dengan jerih payah diri sendiri merupakan hal sangat mulia posisi keberhasilannya dalam usaha pekerjaan, sebagaimana disinyalir oleh Nabi Saw :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ عُمَارَةَ عَنْ عَمَّتِهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم (إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ )[xx]

9.   Efisien dan Hemat
Agama Islam sangat menghargai harta dan kekayaan. Jika orang mengatakan bahwa agama Islam membenci harta, adalah tidak benar. Yang dibenci itu ialah mempergunakan harta atau mencari harta dan mengumpulkannya untuk jalan-jalan yang tidak mendatangkan maslahat, atau tidak pada tempatnya, serta tidak sesuai dengan ketentuan agama, akal yang sehat dan ‘urf  (kebiasaan yang baik). Demi kemaslahatan harta tersebut, maka sangat dianjurkan untuk berperilaku hemat dan efisien dalam pemanfaatannya, agar hasil yang dicapai juga maksimal. Namun sifat hemat di sini tidak sampai kepada kerendahan sifat yaitu kikir atau bakhil. Sebagian  ulama membatasi sikap hemat yang dibenarkan kepada perilaku yang berada antara sifat boros dan kikir, maksudnya hemat itu berada di tengah kedua sifat tersebut. Kedua sifat tersebut akan berdampak negatif dalam kerja dan kehidupan, serta tidak memiliki kemanfaatan sedikit pun, padahal Islam melarang sesorang untuk berlaku yang tidak bermanfaat :
أخبرنا الحسين بن عبد الله القطان بالرقة قال حدثنا هشام بن عمار قال حدثنا محمد بن شعيب عن الأوزاعي عن قرة عبد الرحمن عن الزهري عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (إنَّ مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ.)[xxi]

Efisiensi pada prinsinya tidak hanya sebatas harta benda, namun mencakup segala komponen dalam kerja, seperti waktu, tenaga dan pikiran. Ketika melakukan sesuatu didasari pencapaian hasil yang maksimal dengan tanpa menghamburkan potensi yang dimiliki, maka ia telah bersikap efisien. Dalam hal ini Nabi Saw. bersabda:    
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن أَبِي زُرْعَةَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بن عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا مُخَيِّسُ بن تَمِيمٍ، حَدَّثَنِي حَفْصُ بن عُمَرَ، حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بن عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :(اَلْإِقْتِصَادُ فِي النَّفَقَةِ نِصْفُ الْمَعِيْشَةِ ، وَالتَّوَدُّدُ إِلَى النَّاسِ نِصْفُ الْعَقْلِ ، وَحُسْنُ السُّؤَالِ نِصْفُ الْعِلْمِ.)[xxii]
Pembahasan ciri-ciri atau sikap-sikap etos kerja islami tidak terbatas pada apa yang telah penulis sebutkan di atas, karena masih banyak sikap lain yang perlu dimiliki bagi setiap pelaku kerja untuk memperoleh keberhasilan dalam profesi yang ia tekuni. Namun, pada prinsipnya Islam telah mengatur cara dan perilaku ke arah itu, yang terkadang tidak secara tersurat bisa kita dapatkan. Seperti hadis yang telah penulis tampilkan, itu hanya sebagian kecil dari prinsip etos kerja islami yang tertuang dalam hadis Nabi Saw. Apalagi kalau kita mau membuka lembaran sejarah nabawiyah, maka banyak akan kita temukan prinsip, perilaku dan sikap Nabi Saw. dalam menanamkan etos kerja yang tinggi kepada umatnya, sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi pada masa mudanya juga pernah berprofesi sebagai pedagang, dan keberhasilan perjuangan Nabi sebagai pemimpin atau imam pasti juga dilandasi sikap etos kerja yang tinggi.
Hadis-hadis yang telah penulis tampilkan dalam pembahasan di atas kalau dilihat dari sanad dan para perawinya, ada sebagaian yang berstatus hadis dla’if, sehingga kelayakan untuk sebagai landasan dalam ilmu keislaman memang masih diragukan.. Namun demikian, kenyataan seperti itu bagi sebagian ahli hadis adalah diberlakukan untuk penetapan hukum, yang sangat membutuhkan kebenaran dan kekuatan dari hadis tersebut sebagai landasan hukumnya. Sedangkan menurut penulis, permasalahan etos kerja ini bukanlah bagian dari hukum yang sarat akan nilai hitam atau putih, tetapi lebih merupakan bagian dari motivasi dalam beramal. Oleh karena itu, penggunaan hadis dla’if pun bisa diperkenankan selama kedla’ifannya tidak parah, atau mencapai tingkatan maudlu’ (palsu). Dalam hal ini ulama’ hadis mengisyaratkan dengan kajian fadlail al-a’mal. Al-Dahlawi berka; “Pendapat yang masyhur menyatakan bahwa hadis dla’if bisa dipakai dalam permaslahan fadla’il al-a’mal, tidak selainnya.[xxiii]















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan tentang etos kerja di atas, dapat kita ambil suatu kesimpulan, bahwa ajaran Islam yang bersifat universal juga mengatur cara-cara agar manusia berhasil di dalam menggeluti profesinya. Hal ini dapat digali dari hadis-hadis Nabi Saw tentang prinsip-prinsip etos kerja islami, baik dalam konteks kerja secara spesifik, maupun konteks amalsecara umum. Namun, ada poin penting yang menjadi ciri khas etos kerja islami dari etos kerja pada umumnya, yaitu motivasi dalam bekerja, yang tidak hanya keberhasilan duniawi sebagai tujuannya, tetapi harus terdorong oleh motivasi ibadah untuk meraih kebahagiaan akhirat, sehingga nilai-nilai ilahiyah tidak bisa dinafikan darinya. Kemudian pada dasarnya ciri-ciri dalam etos kerja sangat luas, tidak terbatas pada beberapa poin, tetapi penulis bisa menyimpulkan bahwa setiap sikap dan perilaku yang mengantarkan pelaku kerja kepada keberhasilan usaha, itulah bagian dari sikap etos kerja tinggi. Semoga setelah kita mengetahuinya, akan muncul suatu tekad dan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keberhasilan, dan tidak hanya berisi konsep atau wacana saja, namun juga memperhatikan seberapa jauh konsep tersebut bisa diaplikasikan dalam kehidupan. Pada intinya, konsep ajaran Islam adalah bernuansa iman, ilmu dan amal shalih.      
Etos kerja seorang muslim ialah semangat tinggi menapaki jalan lurus, mengharapkan ridha Allah SWT. Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah:
1.      Adanya keterkaitan individu terhadap Allah, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya.
2.      Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
3.      Tidak memaksakan semua harus dipekerjakan secara professional
4.      Tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah.
5.      Professionalisme dalam setiap pekerjaan.



DAFTAR PUSTAKA

Slamet. 2010. Belajar & faktor-faktor mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.
Hadhiri, Chouruddin.2005. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press.
Nurjanah, Siti. 2013. Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Raja Wali Pers.
A. Rahman I. Doi. 2002. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Enizar.2013. Hadis Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
A. Hanafi, Theology Islam. 1987. (Jakarta: Pustaka Al Husna1.
M. Dawam Raharjo. 1999. Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat.
Ash-Shiddieqy, Hasbi TM. 1998. Al-Islam 2, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Asifuddin, Ahmad Janan. 2004.  Etos Kerja Islami, Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Tasmara, Toto. 1995. Etos Kerja Pribadi Muslim, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Bukhori, Shahih al-Bukhari, Baeirut: Dar Ibn Katsir, 1987
Al-Thabrani. 1983. al-Mu’jam al-Kabir, Maktabah ‘Ulum wa al-Hikam.
al-Mu’jam al-Awsath, Kairo, Dar al-Haramain, 1415 H.
A. ibn Hanbal, Musnad Ahmad  ibn Hanbal, Kairo: Muassasah al-Qurtubah, tt.
Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, tt.
Ibnu Hibban. 1993. Shahih Ibnu Hibban, Beirut: Muassasah al-Risalah.
Al-Dahlawi. 1986. Muqaddimah fi ushul al-Hadis, Beirut: Dar al-Basya’ir al-Islamiyah.
Hafidhuddin, Didin. 2003. Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani Press.
Nasr, Sayyed Hossein, Pandangan Islam terhadap Etika Kerja, terj. Ahmad Mu’azin



End Noot



[i] Slamet. Belajar & faktor-faktor mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta. 2010,  h, 102
[ii] Chouruddin hadhiri. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press. 2005, h,196
[iii] Siti Nurjanah. Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Raja Wali Pers. 2013, h, 127
[iv]A. Rahman I. Doi . Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002, h, 502
[v] Enizar. Hadis Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2013, h, 8
[vi] Al-Najm (53): 39-40
[vii] Q.S. AN-nur : 39
[viii] Disarikan dari Ahmad Janan Asifuddin, Etos Kerja Islami, h. 100-102
[ix] Ibid, h, 105
[x] Bukhori, Shahih al-Bukhari, (Baeirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz 6, h. 2461.
[xi] Ibid, juz 1, h. 33.
[xii] Q.S. As-Syuro: 11
[xiii] Al-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, (Maktabah ‘Ulum wa al-Hikam, 1983), juz. 12, h. 453. Al-Suyuthi menilai hadis ini dha’if, karena terdapat perawi yang bernama Sukain ibn Siraj. Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Kabir, (al-Maktabah al-Syamilah), h. 983.  
[xiv] Al-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath, (Kairo, Dar al-Haramain, 1415 H.), juz 1, h. 275. Al-Suyuthi berkomentar bahwa Mus’ab ibn Tsabit dinilai lemah (dha’if) oleh segolongan ulama’ hadis. Lihat Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Kabir, h. 8859.   
[xv] Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 5, h. 2343
[xvi] Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 1, h.182
[xvii] Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi), juz 1, h. 99
[xviii] Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad  ibn Hanbal, juz3, h. 414
[xix] Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), juz 13, h. 7
[xx] Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz 6, h. 162.
[xxi] Hadis riwayat sahabat Abu Hurairah Ra. Shahih Ibn Hibban, juz 1, h. 466.
[xxii] Al-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath, juz 7, h. 25. Ad-Dzahabi berkomentar bahwa terdapat dua perawi majhul di dalam sanad hadis tersebut, yaitu Mukhayyis ibn Tamim dan Hafs ibn Umar. Lihat Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Kabir, h.196.
[xxiii] Al-Dahlawi, Muqaddimah fi ushul al-Hadis, (Beirut: Dar al-Basya’ir al-Islamiyah, 1986), h. 83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar